Di masa sekarang pun, negara-negara yang disebut maju seperti Amerika Serikat, Jepang, China, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya adalah negara-negara yang terus bereksplorasi dengan ilmu pengetahuan manusia. Di negara tersebut perkembangan pengetahuan di bidang filsafat, sastra, fisika, kimia, matematika, hingga kesenian tumbuh dengan pesat. Hasil pengetahuan diwujudkan dalam berbagai konsep tatanan berkebangsaan, serta dikongkritkan dalam berbagai produk sains dan teknologi yang telah dirasakan manfaatnya.
Lalu, apa rahasia kemajuan bangsa-bangsa tersebut? Bukankah kita, manusia, dimanapun hidupnya diberi akal yang sama oleh Sang Pencipta? Jika mereka gigih, tidakkah masyarakat bangsa kita juga gigih memperjuangkan kualitas hidupnya? Bahkan begitu gigihnya, acapkali rakyat kita berteriak-teriak di jalanan.
Baiklah. Perlu kita tekankan betul, bahwa baik atau buruknya kualitas hidup sebuah bangsa berawal dari baik-buruknya individunya. Bangsa yang maju, tentulah bangsa yang senantiasa belajar, belajar dan belajar. Sedangkan hakikat utama belajar adalah menyerap berbagai informasi, konsep-konsep, ide-ide, norma-norma, nilai-nilai dari berbagai sumber pengetahuan. Tak dapat dipungkiri, dalam perjalanan manusia, sumber terbesar pengetahuan telah dan terus disarikan ke dalam buku dan bahan bacaan lainnya. Tak ayal, singkat kata, bangsa yang bergerak maju adalah bangsa yang masyarakatnya, individu-individunya memiliki minat dan intensitas membaca yang tinggi.
Jika kita memeriksa diri dan membandingkan kualitas hidup masyarakat kita dengan masyarakat di negara maju tersebut, alangkah kecewanya kita. Perbandingan itu dapat kita lihat dalam analisis data terkini yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), Oktober 2009 lalu. Dari analisis data laporan menempatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia berada di urutan 111 dunia. Kualitas hidup kita tidak jauh berbeda dengan Vietnam yang berada di posisi 116. Lalu dimana posisi negara-negara tetangga lainnya? Jauh di atas Indonesia, Singapura (Peringkat 23), Brunei (30), Malaysia (66), Thailand (87), dan Filipina (105). Tiga negara seperti Singapura, Brunei dan Malaysia masuk dalam jajaran negara High Human Development. Pengukuran Human
Development Index merupakan perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang.
Salah satu item yang diukur dalam analisa data HDI adalah tingkat melek huruf (literacy rate) penduduk sebuah negara. Laporan UNDP tersebut juga membeberkan tingkat melek huruf negara kita berada di peringkat 93 dunia, dengan persentase melek huruf baru mencapai 88,8 persen. Jika kita membandingkan dengan negara jiran, kita pun masih tertinggal. Singapura berada di (peringkat 23), Brunei (29), Malaysia (58), Thailand (72), dan Filipina (86) dengan angka persentase diatas 90 persen.
Faktor penyebab rendahnya angka melek huruf masyarakat kita adalah masih banyak anak bangsa yang hidup primitif, masih ada warga kita yang tidak pernah menikmati pendidikan formal (sekolah), atau faktor putus sekolah dengan alasan ekonomi pun masih menjadi isu yang besar. Kondisi ke-tidak-beraksara-an ini menjadi akar masalah yang besar pengaruhnya terhadap minat baca sebuah masyarakat.
Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, selanjutnya kebiasaan membaca yang rendah ini berakibat kemampuan membaca ikut rendah. Itulah masalah yang kait-berkait, bersengkarut yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.
Rendahnya minat baca masyarakat kita hari ini bukan tanpa alasan. Bagi masyarkat kita, kegiatan membaca belum menjadi kebiasaan yang mengakar dalam hidup sehari-hari. Orang lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Dalam satu hari, waktu di depan televisi lebih besar daripada waktu belajar reguler, apalagi membaca. Bahkan sangat banyak masyarakat kita tidak membaca buku sebaris pun dalam sehari. Hal itu biasa saja. Di televisi, hiburan dan ekses budaya pop yang tidak mencerminkan budaya bangsa lebih memikat dari membaca buku. Hiburan yang ditayangkan televisi hari ini cenderung jauh dari tradisi intelektual. Penuh hura-hura, hedon dan kesenangan sesaat. Sebagian besar acara televisi telah membentuk gejala hiperealitas yang membabi buta. Kondisi kini, persis seperti apa yang dikatakan seorang pakar media, Neil Postman, bahwa dunia hiburan televisi telah mendangkalkan cara pikir manusia.
Masyarakat kita hidup dalam cara berpikir pragmatis dan instans. Membaca belum menjadi solusi yang praktis. Jika terkendala menghadapi sebuah problem, ketidaktahuan, masyarakat kita belum terbiasa mencari solusinya dengan membaca buku. Pemecahan masalah lebih cenderung dengan bertanya langsung dengan seseorang yang dianggap ahli. Coba perhatikan, kita sering melihat acara acara wirid pengajian, ceramah, penyuluhan, atau seminar yang pesertanya berebut untuk bertanya langsung pada narasumber. Padahal narasumbernya terlihat hebat hanya karena rajin membaca.
Kondisi ini membuktikan bahwa masyarakat kita tumbuh dari tradisi lisan (oral) yang kuat. Ada yang berpendapat bahwa bangsa kita yang dalam perkembangannya melompat dari tradisi praliterer langsung melompat pada kondisi pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Buktinya, zaman praliterer bangsa kita dilewati dengan tumbuh pesatnya tradisi lisan, semacam dongeng, foklor, kaba, dan tradisi lisan lainnya. Kemudian, hari ini kita melompat saja dalam tradisi lisan kedua, yang ditandai dengan menjamurnya media elektronik semacam televisi, yang menyihir masyarakat dengan berbagai tayangan hura-hura dan berbagai acara tak mendidik lainnya.
Faktor lain yang berpengaruh membuat rendahnya minat baca bisa saja faktor lingkungan yang tidak mendukung, baik di rumah tangga, di lembaga pendidikan maupun lingkungan pergaulan. Di rumah, orangtua yang tidak punya minat baca mewariskan mental itu pada anaknya. Sementara di sekolah, sistim pembelajaran kita belum membuat pelajar/murid/mahasiswa harus membaca buku. Mereka tidak diarahkan untuk menggali informasi sebesar-besarnya secara mandiri ke dalam buku. Mereka cukup mendengar guru berceramah dan bercerita. Kalaupun diperintahkan untuk membaca buku, tak lebih dari sekedar mencari jawaban dari pertanyaan yang seperlunya saja. Belum ada hasrat untuk mengetahui lebih banyak dari sekedar menjawab pelepas tanya. Bahkan ada guru yang tidak punya minat membaca sama sekali. Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan rendahnya minat baca masyarakat kita adalah sebuah penyakit masyarakat (pekat) yang akut, dan tentunya harus diberantas.
Indikator lain rendahnya minat baca dapat terlihat dari tingkat konsumsi surat kabar di negara kita. Di Indonesia, satu surat kabar dibaca oleh empat puluh lima orang (1:45). Sedangkan di negara tetangga seperti Srilangka sudah 1:38 dan Filipina 1:30. Padahal, idealnya satu surat kabar dibaca oleh sepuluh orang (1:10).
Sementara itu, jumlah penerbitan buku juga menjadi dalih rendahnya minat baca bangsa kita. Pada sebuah kesempatan, budayawan Ajip Rosidi pernah membeberkan angka rata-rata penerbi¬tan buku di Indonesia. Pada perhitungannya, penerbitan buku kita saat ini sekitar 12 ribu judul buku setiap tahun dengan oplah hanya dua sampai tiga ribu setiap judul. Bagi bangsa dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa ini, niscaya jumlah itu tidak berarti apa-apa. Itu pun pada kenya¬taan banyak penerbit yang mencetak bukunya hanya 500-1000 eksemplar. Dengan angka itu Ajib coba bermatematis, "Coba saja hitung, 12 ribu x 5 ribu, kalau kita naikkan angkanya, jumlahnya hanya 60 juta buku," kata Ajip. "Dengan demikian, setiap orang hanya kebagian membaca 60 juta berbanding 250 juta orang ═ 0,25 judul buku dalam setahun!". Artinya, Kalau setiap buku rata-rata tebalnya 100 halaman, maka dalam 365 hari setiap orang Indonesia hanya membaca 25 halaman. Atau setiap halaman dibaca selama hampir dua minggu. "Karena angka-angka itu sudah dibesarkan, kecuali jumlah penduduk Indonesia, maka tentu saja kenyataan yang terjadi lebih menyedihkan dari itu," sergap Ajip. Miris bukan?
Memang tingkat minat baca merupakan sebuah keadaan yang bervariasi. Minat baca tergantung kepada pola pikir masyarakat, sejauhmana masyarakat menganggap penting sebuah informasi dalam sebuah bacaan atau buku. Dengan demikian, dari kenyataan yang ada tampak jelas bahwa minat baca masyarakat kita tergantung pada pamrih pragmatis dan nilai praktis yang didapatkan dari bacaan yang tersedia.
Membaca jejak peradaban bangsa-bangsa besar, tokoh-tokoh besar, pemimpin-pemimpin yang menggerakkan dan merubah nasib bangsanya hidup dalam tradisi literer. Ingatkah kita pada Alexander The Great, yang kita kenal sebagai Iskandar Agung, begitu menginjakkan kakinya di pantai barat Mesir pada 332 SM, tercengang dengan keindahan tempat itu. Kota yang kemudian bernama Alexandria atau Iskandariah menjadi ibukota Mesir selama hampir 1.000 tahun. Di kota ini tradisi membaca dan menulis intelektualnya menjadi penggerak utama peradaban Mesir. Puncaknya, pada 300 tahun SM berdirilah perpustakaan legendaris pertama di dunia, yang dinamai Bibliotheca Alexandrina. Kemudian raja Ptolemi I, penerus Alexander, membangun pusat pengembangan ilmu pengetahuan bernama Mouseion (tempat ibadah Dewa Pengetahuan dan Dewa Seni). Ia belanjakan harta kerajaan untuk membeli buku dari seluruh pelosok negeri hingga terkumpul 442.800 buku dan 90.000 lainnya berbentuk ringkasan tak berjilid. Hingga masa raja Ptolemi III tercatat sekitar 700.000 buku tersimpan di sana. Alexandria menjadi pusat intelektual imperium Iskandar yang membentang dari India hingga Mesir.
Atau kita bisa mengambil hikmah dari bangsa Arab. Pasca turunnya Al-Quran, bangsa Arab memulai peradaban baru dalam kebudayaan Islam. Perlahan bangsa Arab memasuki dunia literer, dan meninggalkan tradisi lisan. Meski Nabi Muhammad SAW telah tiada, para khalifah penerus tidak menyerah dalam mengibarkan ilmu pengetahuan. Pada masa khalifah Abu Bakar Al-Quran dikumpulkan. Kemudian Al-Quran sebagai sumber dari segala ilmu berhasil dibukukan menjadi mushaf utuh pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Ilmu pengetahuan bangsa Arab mencapai puncaknya saat Arab di bawah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Pada masa ini peradaban Arab yang berpusat di Persia menjadi bangsa yang makmur dan berpengaruh di dunia. Bahkan masa ini dicatat sebagai periode Islam yang terpenting. Al-Ma’mun memimpin bangsanya dengan kunci keyakinan bahwa kejayaan suatu bangsa itu tidak lain adalah buku. Dimasanya, Al-Ma’mun menyemarakkan kegiatan menerjemah dan membaca berbagai literatur Yunani di lingkungan kerajaannya. Al-Ma’mun bahkan sengaja mengutus duta ke Bizantium (Yunani) untuk menyalin sejumlah buku-buku untuk diterjemahkan. Pada masa kepemimpinan Al-Ma’mun pulalah pustaka dan akademi Bait Al-Hikmah (Darul Ilmi) yang megah itu mencapai puncaknya. Al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadist dan mufassir dari setiap penjuru untuk mempelajari berbagai ilmu. Al-Ma'mun menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam catatan sejarah, pustaka dan akademi Bait Al-Hikmah telah melahirkan sarjana-sarjana brilian seperti Al-Kindi, yang konon lebih dahulu memaparkan teori relativitas, sebelum Einstein. Ada juga fisikawan sekaligus matematikawan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi yang kita kenal dengan Al Jabar, penulis kitab peletak dasar matematika modern Hisab al-jabr wal-muqabala.
Pada masa sekarang mungkin kita perlu belajar dari bangsa Jepang. Mukjizat apakah yang merubah bangsa Jepang dari negara yang hancur berantakan akibat di bom Atom, hingga dalam waktu yang singkat, menjadi bangsa yang maju dan terdepan sekarang ini? Tak ada mukjizat apapun! Rahasia sukses bangsa Jepang tak lain dan tak bukan adalah semangat untuk belajar, yang dikongkritkan dengan aktivitas membaca. Kini kemajuan dan kemakmuran Jepang sulit ditandingi. Bahkan kecerdasan anak-anak Jepang menempati tingkat tertinggi di dunia. Kita perlu iri, karena layaknya makan dan minum, membaca merupakan kegiatan yang masuk keseharian orang Jepang. Tak perlu heran kalau kita datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca komik, buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca.
Untuk menumbuhkan dan memelihara minat baca anak-anak, banyak penerbit di Jepang membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah, baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dan bahan ajar sekolah lainnya disajikan dengan menarik sehingga membuat minat baca siswa atau masyarakat semakin tinggi. Selain itu budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan sebagainya).
Kalau kita menarik teladan pada ranah personal, kita perlu kembali membaca jejak tokoh-tokoh besar, pemimpin bangsa kita sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa bangsa kita digerakkan oleh para ‘kutu buku’. Sebutlah, Ir. Soekarno, seperti yang diriwayatkan oleh Tafuik Ismail, semasa ia sekolah di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya, merupakan pemamah bacaan yang rakus. Kamar, kursi, kasur di rumahnya ditebari beragam buku. Meski melanjutkan pendidikan bidang teknik di Technische Hooge School (THS)—yang sekarang menjadi ITB di Bandung, Soekarno tak bisa dipisahkan dari buku politik, sosial dan nasionalisme. Garis perjuangannya dalam rangka merubah nasib bangsa ia curahkan dalam buku Di bawah Bendera Revolusi yang terdiri dua jilid itu.
Tak jauh beda, seorang bumiputra lainya, yang masa kecilnya hidup di udiknya alam Minangkabau; di perbukitan Bukit Barisan pulau Sumatera; yang kecerdasan dan hasrat membaca tak terbendung oleh gurunya Horensma; yang ketika mudanya mengecap pendidikan di negeri Belanda; yang dimasa-masa pelariannya yang lintas negara selalu diiringi buku-buku; yang memiliki jurus ‘jembatan keledai’ untuk meringkas isi buku kedalam ingatanya; yang selalu menulis dimana saja, kapan saja, bahkan dalam situasi segawat apapun ia tetap menulis; yang menuangkan garis perjuangannya dalam buku Naar De Republik Indonesia, yang mewariskan pada kita sebuah babon yang berjudul Madilog, ialah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Kecintaan Tan Malaka pada buku adalah sebentuk proses merumuskan perjuangannya bagi kemerdekaan bangsa ini.
Atau barangkali kita perlu kembali menapaki jejak Sang Proklamator Bung Hatta. Dalam ketenangan, kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, Bung Hatta selalu menyediakan waktu untuk mencumbui buku-buku. Ketika ia dicampakkan ke Boven Digul, sepuluh peti berisi buku-buku mendampinginya. Ada yang mengatakan bahwa sebelum ia menikahi Ibu Rahmi, buku adalah istri pertama Bung Hatta. Bahkan, saking cintanya ia pada buku, dalam sakralnya pernikahan, dengan gagah dan romantis ia jadikan buku yang ditulisnya sendiri, yang berjudul Alam Pikiran Yunani, sebagai mahar ijab-kabul pernikahannya dengan Ibu Rahmi. Sungguh menakjubkan!
Teladan yang masih hangat dalam catatan sejarah pendidikan kita adalah sosok Riana Helmi. Remaja belia itu meraih gelar dokter termuda di Indonesia di usianya baru 17 tahun dari Universitas Gajah Mada. Karena kecerdasannya, ia melewati jalur percepatan atau akselerasi, sehingga dengan cepat menyelesaikan jenjang pendidikan SD hingga SMA. Dalam rubrik Sosok, Media Indonesia, edisi 17 Juni 2009, Riana membeberkan bahwa rahasia suksesnya adalah belajar, yang tentunya membaca. Kedua orang tuanya menjadi saksi hidup bagaimana Riana selalu lekat dengan buku dalam kesehariannya. “Riana tidak terlalu gemar bermain, tetapi lebih suka belajar dan membaca.” kata ibunya.
Bukan rahasia lagi, membaca merupakan suatu keharusan dalam memajukan setiap pribadi manusia. Seorang yang rajin membaca berarti ia selalu mengasah pribadinya. Karena membaca adalah upaya meningkatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional kita, sehingga kita mampu menganalisis sebuah persoalan dengan pikiran yang terarah, kritis dan pandangan yang lapang. Seorang yang giat membaca tentu pemahamannya terhadap kehidupan ini akan semakin dalam dan tajam.
Seorang pembaca yang baik dan efektif, sadar atau tidak sadar, ia sedang menambah wawasan dan meluaskan cakrawala pengetahuannya. Hal itu alamiah, karena manusia pada dasarnya selalu ingin memenuhi rasa ingin tahu yang alami dalam dirinya. Ia mencari segala informasi yang diperlukan untuk melanjutkan hidup. Cara terbaik dan termudah mendapatkan informasi adalah dengan membaca. Kemudian, tentu saja informasi itu sedapat mungkin bermanfaat bagi proses kehidupan sehari-hari yang kita jalani.
Disisi lain, membaca merupakan cara terbaik untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan kreatifitas kita. Dengan membaca kita dapat meningkatkan imajinasi kita. Membaca membuat kita terbang mengembara dalam alam pikiran yang tiada berbatas. Kemudian dengan keluasan imajinasi, seorang pembaca menemukan ide-ide, konsep-konsep yang baru. Dengan kemampuan kreatif, kita kembali meramu, meracik pengetahuan yang didapat dari membaca itu untuk membentuk sesuatu yang baru lagi, tentunya yang berguna bagi kehidupan ini.
Seorang yang mempunyai minat dan daya baca yang kuat biasanya akan bertindak lebih dewasa, cerdas, arif, teliti, dan tanggap. Dengan pengetahuan yang ia miliki, ia bisa membuat setiap kebijakan lebih efektif dan efisien. Ia akan lebih tegar atau lebih tangguh melewati rintangan kehidupan. Karena dengan pengetahuan yang dimilikinya, dalam situasi sulitpun ia selalu punya solusi untuk mengatasi masalahnya. Seseorang belum bisa dikatakan berhasil membaca jika tidak ada perubahan, baik cara pandang, sikap, atau perilaku, yang lebih baik dalam dirinya. Sebab, pada hakikatnya, membaca adalah proses perubahan mental untuk membangun jati diri manusia secara utuh, dan ‘paripurna’ di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Bangsa ini membutuhkan pribadi-pribadi yang handal untuk menopang dan memajukan kebudayaannya. Pribadi yang lebih memahami nilai-nilai luhur dan jati diri bangsanya. Pribadi yang punya niat ikhlas dan semangat yang tiada pernah kering dalam merubah keadaan ke arah dan masa depan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Pribadi yang memiliki visi dan cita-cita meninggikan martabat bangsanya untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain. Pribadi yang terhimpun dalam generasi yang unggul. Generasi unggul tentunya himpunan pribadi-pribadi yang senantiasa membaca demi mempelajari samudera ilmu pengetahuan yang luas itu.
Bangsa yang tak membaca adalah bangsa yang melangkah dalam gelap. Membaca menjadi prasyarat utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Harus digarisbawahi betul bahwa garis ukur minat baca berbanding lurus dengan garis ukur kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari keterpurukkan, kebodohan, kemiskinan menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakatnya. Bangsa yang tidak mau belajar, yang kemampuan dan minat baca warganya rendah, akan terlindas oleh bangsa lain, terjajah oleh kebudayaan yang lebih kuat.
Jika kita tidak berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan, bangsa kita akan selalu saja tertinggal. Dalam wilayah personal, kita akan termasuk anak bangsa yang secara tak langsung menyerah pada percaturan peradaban dunia. Bangsa yang merelakan dirinya untuk dijajah. Kita harus sadar bahwa penjajahan hari ini dan masa depan bukan lagi penjajahan dalam arti invansi fisik, tetapi penjajahan masa depan tersirat dalam penguasaan sistem ekonomi, penjajahan dalam wujud intervensi politik, penjajahan dalam bentuk produk dan budaya asing yang tidak baik. Kemudian bangsa yang terjajah itu hanya jadi bangsa pengikut, penjiplak dan pemamah produk budaya bangsa lain. Bila itu terjadi, kita harus siap menjadi bangsa yang kehilangan jati diri.
Tapi, bukankah sudah dikatakan, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum (bangsa) jika kaum itu sendiri yang berusaha merubahnya. Oleh sebab itu, jalan lurus terindah memperbaiki diri, meninggikan harga diri bangsa ini adalah dengan membaca. Dengan niat yang baik, kita harus ‘mengembang-biakkan’ para intelektual ‘kutu buku’ semacam Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Hamka, Agus Salim, Habibie, Azyumardi Azra, Syafi’i Ma’arif, Mahfud MD, Anies Baswedan, Andrea Hirata, Helvy Tiana Rosa, Riana Helmi dan seterusnya, lebih banyak lagi. Kita harus menumbuhkan minat baca pada setiap generasi penerus bangsa, sedari usia dini, sekaligus menjaga hasrat membaca kita sampai ke liang kubur sekalipun. Ingat, bukankankah Wahyu pertama kali turun berbunyi: “Iqra!” (Bacalah!). Maka, bacalah segala bacaan yang baik, segala yang bermanfaat bagi diri kita, bagi bangsa kita.
Kupu-kupu di dalam Buku
Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika singgah di sebuah rumah,
kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya,
“tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu,”
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.
Taufiq Ismail, 1996
Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika singgah di sebuah rumah,
kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya,
“tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu,”
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.
Taufiq Ismail, 1996
Daftar pustaka
Al-Quran
Adlin, Alfathri. Praliterasi, Literasi, dan Posliterasi (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Ahmad Tohari. Mahasiswa, Buku, dan Pulsa (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
A.M. Fatwa. Membaca Sebagai Sumber Kemajuan Bangsa (makalah). Disampaikan pada acara Seminar Sehari dan Musyawarah Nasional II Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI bekerjasama dengan GPMB di Ball Room Century Park Hotel, 1 Maret 2005. Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Azra, Azyumardi. Konferensi Buku-Buku (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Cahyana, Gede H. Buku Dan Ketupat Lebaran (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Dananjaya, Utomo. Ketika Buku Jadi Tirani (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Dahlan, Muhidin M. Dari Kantor Pos ke Revolusi Informasi (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Fakhrurozi, Jafar. Buta Huruf dan Kesejahteraan Rakyat (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Hanani, Silfia. Membangun Minat Baca Murid Melalui Optimalisasi Perpustakaan Sekolah Berbasis Masyarakat Sebagai Salah Satu Usaha Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan (Makalah). STAIN Bukittinggi. 2008.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani. Universitas Indonesia. 1980
Ismail, Taufiq. Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Jostein gaarder, Dunia Sophie. Mizan. 1996
Lorentina. Pendidikan dan melek huruf bagi perempuan (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Lrawan, Ade. Pelajaran dari Bisnis Buku Pelajaran (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Malaka, Tan. Madilog. Pusat data Indikator. Jakarta. 1999
Mustofa, Farid. Alexandrina Egypt; Perpustakaan Pertama Di Dunia (makalah). UGM. dari Kedaulatan Rakyat 28/07/2008080547/
Merta, I Made. Benarkah Budaya Baca Masyarakat Kita Rendah? (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Muhammadun AS. Andai Buku Sepotong Pizza (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Matta, Anis. Mengokohkan Tradisi Ilmiah (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Muda, Fauzi Ahmad. Susu dan Buku, Keduanya Bergizi (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Murajjab, Muhamad Sahrul. Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah: Kajian Ringkas. www.inpasonline.com
Mulyana, Agus. Memaksakan Minat Membaca Pada Siswa. (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Muktiono, Joko D. Aku Cinta Buku. Elexmediakomputindo. 2003 jakarta
Nandika, Dodi. Perang Total Melawan Buta Aksara (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Wahyono, S Bayu. Rendahnya Apresiasi Masyarakat Terhadap Perpustakaan. (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Oemar, Firdaus. Strategi Induk Kampanye Nasional "Indonesia Membaca". (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Pitono, Djoko. Kisah Buku Dalam Angka di Taman Surga (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Postman, Neil. Menghibur Diri Sampai Mati (terjemahan). Pustaka Sinar Harapan . Jakarta.1995
Reyhan, Alem Savero. Membaca Buku Sebagai Gaya Hidup. Ruang baca tempo. Edisi 26 Juni 2009
Riana, Deny. Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Ritonga, Efri. Buku Gratis Untuk Dunia (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Saleh, Rachmad. Bagaimana cara memBangun Budaya membaca dan Menulis ???. www.rachmadsaleh.blogspot.com
Sahputra, Dedi. Pemberantasan Buta Aksara Dengan Hati (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Sumardjo, Dardjo. Kebijakan Pemda Dalam Mengembangkan Budaya Baca Masyarakat (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Sobary, Mohamad. Buku dan Watak Bangsa (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Setiawan, Benni. Bersama Kita Bisa Berantas Buta Aksara (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Suryaman, Maman. Buku Dan Proses Mencerdaskan Bangsa (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Sutomo, Sumengen. Membangun Bangsa 100 Tahun Mendatang Melalui Budaya Baca Dan Belajar . Yayasan Bandun Indonesia.
Soekirno. Tantangan Budaya Baca dan Perbukuan Nasional (makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Saputro, Romi Febriyanto. Quo Vadis, RUU Perpustakaan?(makalah). Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). www.mli.com
Witdarmono. Saat Buku Menjadi Simbol Peradaban. www.mualaf.com
Kliping berita.
Tumbuhkan Minat Baca Perlu Kreatif. Sumber Kompas, Selasa, 10 Maret 2009
Kitab Aljabar, Karya Fenomenal Matematikus Agung. By Republika Online
Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan. By Republika Contributor
Al-Kindi, Einstein Islam Pada Dinasti Abbasiyah. www.suaramedia.com
Anonim. Masa Keemasan Islam Bani Abbasiyah. www.indoskripsi.com
Tanamkan Minat Baca pada Anak. www.kumpulan.info/keluarga/anak/40-anak/141-anak-membaca-sejak-dini/
Anonym. Meningkatkan Budaya Membaca Pada Pelajar. www. Begundal. Blogspot.com
Anonym. Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an. Imronfauzi.wordpress.com
Berita: Semai Minat Baca lewat Hari Kunjung Perpustakaan. http//m.suaramerdeka.com
10 Resep Sukses Bangsa Jepang. hikmah.mfajri.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar