Selasa, 01 Februari 2011

BERANDA

Naskah Drama
Beranda
KARYA
ILHAM YUSARDI

2006
PENGANTAR
Beranda adalah ruang beratap yang terbuka tanpa dibatasi dinding yang terdapat di depan atau di samping kiri sebuah rumah. Beranda biasanya dipakai untuk tempat duduk-duduk, menikmati matahari pagi atau bersantai di sore hari.
Meski lebih kuat dalam pikiran kita tentang kesantaian di sebuah beranda, namun acap kali beranda memunculkan obrolan yang menarik antara anggota keluarga atau antar tetangga. Mulai dari pembicaraan yang remeh-temeh hingga pada persoalan hidup yang serius.

KONSEP PEMENTASAN.
Skenario teater berjudul Beranda ini merupakan naskah yang di proyeksikan untuk pementasan dengan konsep realis. Peristiwa yang dihadirkan ke dalam panggung adalah reduksi dari realitas.

PENOKOHAN

PEREMPUAN I
Mila, begitulah nama yang dihadirkan dalan naskah ini.Seorang ibu rumah tangga yang ditinggal suaminya. Mempunyai seorang bayi. Tinggal bersama Ibunya yang sudah tua

PEREMPUAN II
Ibu kandung dari perempuan I, biasa di panggil orang Emak. Korban kehilangan suami, bukan janda dan bukan pula bersuami. Satus inlah yang terus dipertahankan perempuan ini

PEREMPUAN III
Tati, itu nama yang di berikan. Seorang janda yang berprofesi sebagai tukang kredit perkakas rumah tangga.

GADIS
Bernama Dara, seorang gadis muda yatim piatu yang menanggung biaya kebutuhan sehari-hari adik-adiknya. Bekerja sebagai mitra petugas sensus

MUSIK
Musik dapat dihadirkan sebagai pendukung (backsound) peristiwa panggung. Peralatan musik bisa dimunculkan dari benda-benda yang dekat dengan keseharian Ibu-ibu seperti, dentingan gelas di pukul, digesek dengan jemari basah pada bibir gelas, ember sebagai ganti gendang, serta dengan paduan suara yang membentuk senandung (Nembang dalam kesenian jawa, berdendang dalam kesenian melayu). Dapat dipadukan dengan musik lainnya, sesusai kebutuhan dan kreatifitas pemain.

PROPERTI
Sebuah kursi kayu panjang
Boneka mainan anak-anak yang bisa menirukan tangisan bayi. (bisa didapatakan di pasar, tempat penjualan mainan anak-anak). Jika tidak ada bayi dapat dibuat dari buntalan kain yang suaranya diisi oleh pemusik sebagai Sound Efect
Buaian dari rotan jika ada, atau buaian dari kain yang diikat dengan dua utas tali kekayu atap sekitar beranda.
Sepeda Ontel yang ada belnya
Ember atau periuk sebagai barang bawaan di sepeda
Map untuk petugas sensus.
Beberapa pot bunga penghias beranda

PANGGUNG MENGGAMBARKAN BERANDA SEBUAH RUMAH. TIDAK BANYAK PERABOTAN LUAR YANG TERLIHAT, DI SISI PINTU TERDAPAT SEBUAH KURSI PANJANG YANG TERBUAT DARI KAYU. DI SEKITAR BERANDA ADA BEBERAPA BUAT POT BUNGA. SEKILAS BERANDA INI MENGESANKAN PEMILIK RUMAH INI HANYA ORANG BIASA ATAU KELUARGA PRA SEJAHTERA

MUSIK PEMBUKA
Suara gelas atau botol diketuk, untuk menandakan dentingan pergerakan waktu.

TERDENGAR SUARA BAYI MENANGIS.
PEREMPUAN I BERDIRI DI BERANDA. DIA MENGGENDONG BAYI SERAYA MEAYUN-AYUNKAN BAYI ITU DI GENDONGANNYA AGAR BERHENTI MENANGIS. SELAIN ITU, DIA TERUS JUGA MENATAP JAUH KE HALAMAN, KE UJUNG JALAN, SEOLAH ADA YANG DI TUNGGU.
SESOSOK TUBUH PEREMPUAN TUA (PEREMPUAN II) MUNCUL DARI DALAM RUMAH. IA BERJALAN TERTATIH UNTUK DAPAT DUDUK DI KURSI.

PEREMPUAN II MENATAP LANGIT.

PEREMPUAN II:
Pagi yang aneh…
PEREMPUAN I TIDAK MENOLEH KE ARAH SUARA ITU, NAMUN IA MENYADARI AKAN IBUNYA YANG TELAH DUDUK DI KURSI.

PEREMPUAN II:
Cahaya matahari terang sekali, kuning kemerah-merahan, membersit di sela awan putih yang tipis. Dan dingin malam masih tersisa dalam tulang.

PEREMPUAN I:
Kemarin juga seperti ini. Hanya ibu saja yang tidak keluar

PEREMPUAN II:
Aku me…(terpotong)

PEREMPUAN I:
Melap batu-batu akik peningggalan ayah dengan minyak kelapa.

PEREMPUAN II:
Sudah lama tidak kubersihkan.

BEBERAPA SAAT KEDUANYA SALING TERDIAM

PEREMPUAN II:
Kalau boleh kutahu hari Apa sekarang?

PEREMPUAN I:
Senin, Bu.

PEREMPUAN II:
O. Aku kira masih hari Minggu. Aku belum lihat suamimu kali ini. Tentu masih tidur. Letih dari kota. Kalau boleh kutahu, pukul berapa sampainya tadi malam? Aku tidur terlalu cepat malam tadi.

PEREMPUAN I:
Belum pulang, Bu. Sudah dua pekan dengan ini.

PEREMPUAN II:
Oh, pelupaku kian parah. Minggu lalu suamimu juga tak pulang. Bukankah begitu?

PEREMPUAN I:
Begitulah, belum jelas ada apanya dengan suamiku.
SESAAT KEDUANYA KEMBALI SALING DIAM. RAUT MUKA PEREMPUAN I KIAN RISAU. IA TERUS MENATAP JAUH.

PEREMPUAN II:
Pagi yang aneh. (kepada diri sendiri)

PEREMPUAN I:
Aneh bagaimana, Bu?

PEREMPUAN II:
Bukan, bukan. Maksudku matahari itu, cahayanya, lain dari biasanya. Seperti sebuah lukisan yang indah. Menawan mataku. Seakan mengundangku untuk datang kepadanya (Terdiam sesaat). Mila, sudah berapa lama suamimu bekerja di kota?

PEREMPUAN I:
Satu Bulan ini, Bu.

PEREMPUAN II:
Kalau aku tak lupa, Ia baru pulang sekali. Saat itu hari Minggu. Bawa ikan asin. Betul?

PEREMPUAN I:
Sudah dua kali, Bu. Hanya minggu lalu dan minggu ini tak pulang.

PEREMPUAN II:
Ia bekerja di mana?

PEREMPUAN I:
Membangun pertokoan besar di ibu kota.

PEREMPUAN II:
Oh, iya-iya. Kau pernah menceritakannya padaku. Ia memasang batu batanya. Bukankah begitu katamu?

PEREMPUAN I:
Benar, Bu.

PEREMPUAN II:
Kau tidak ke dapur pagi ini? Pergilah ke dapur. Mungkin hari ini suamimu pulang. Tidak baik mencemaskannya berlebihan.

PEREMPUAN I:
Bukan maksudku cemas berlebihan, Bu. Tapi sampai detik ini belum ada berita apa-apa tentang suamiku. Lagi pula apa lagi yang bisa kuperbuat di dapur. Beras sudah tidak ada. Uang yang ditinggalkannya pun sudah habis. Hutangku di warung sudah terlalu banyak. Segan rasanya kalau kutambah lagi.

PEREMPUAN II:
Pagi yang aneh. Aku merasakan saat ini ada hal yang berulang dalam pikiranku. Kau berdiri di situ, mengingatkan aku peristiwa seperempat abad yang lampau. Aku berdiri persis di tempatmu kini. Menghadap ke jalan, matahari terbit kemerahan, aku mengendongmu yang masih merah, baru beberapa minggu lepas dari rahimku. Ayahmu dijemput beberapa laki-laki berbadan tegap. Tak seorang pun dari mereka yang kukenali. Kata mereka ada rapat di kecamatan. Saat itu ayahmu orang penting di desa ini, pemimpin kelompok tani. Sehari, dua hari ayahmu belum juga kembali. Sampai saat ini tiada pernah kutahu di mana rimbanya. Aku melapor ke kantor desa, kantor kecamatan, kantor polisi berkali-kali. Berkali-kali pula orang-orang itu menanyakan surat nikah kami. Mana ada surat nikah padaku, toh aku dinikahkan di masjid, berwalikan almarhum kakekmu, saksinya orang yang kebetulan selesai sembahyang Jum’at.

PEREMPUAN I:
Ya, Ibu pernah menceritakan itu padaku. Hingga sampai kini aku tidak pernah tahu rupa ayah. Yang aku tahu ibu sangat mencintai ayah. Setiap hari ibu membersihkan batu-batu akik yang tersimpan dalam kotak perhiasan itu.

PEREMPUAN II:
Hanya dengan cara begitu aku merasakan dia ada disisiku, menjaga cintanya dalam hatiku. Kau tahu, sebelum ia pergi dengan orang-orang itu ia memelukku, mencium dahimu yang berada di pangkuanku, dan membisikkan “aku mencintaimu, Masna”. Aku tak mengira itu ucapan terakhir untukku (sesaat terdiam, mengenang keharuan itu). Apakah kau juga mencintai suamimu, Mila?

PEREMPUAN I:
Seperti perasaan ibu pada ayah.

PEREMPUAN II:
Apakah kini kau sudah punya surat nikah?

PEREMPUAN I:
Selembar saja. Tulisan tangan Tuan Kadi. Ada di lemariku.

PEREMPUAN II:
Seandainya waktu itu aku mengantongi surat nikah, mungkin lain nasibku sesudah kehilangan ayahmu. Dahulu ayahmu ada punya beberapa petak sawah. Namun tidak ada satu surat pun tanda kepemilikkan atas tanah itu. Aku hendak menjadikan itu warisan untukmu, atas namaku. Tapi aku ditentang oleh pengurus Koperasi Desa. Menurut mereka lahan itu tanah milik koperasi. Padahal aku tahu persis, sawah itu hasil perduaan yang telah jadi milik ayahmu. Aku menuntut ke berbagai kantor. Tapi lagi-lagi aku diminta menunjukkan bukti kepemilikan tanah itu, bahkan bukti aku sebagai suami ayahmu.

PEREMPUAN I:
Ya, saat itu aku sudah kelas lima Sekolah Dasar. Kala itu ibu menyodorkan aku sebagai bukti perkawinan ibu dengan ayah. Orang-orang itu cuma tersenyum, dan mencubit pipiku seperti boneka kesayangannya.

PEREMPUAN II:
Hanya gara-gara tak punya surat-surat antah-berantah itu aku terpaksa membesarkanmu dengan mencokel kelapa kopra di Koperasi Tani.

PEREMPUAN I:
Tapi sekarang beda lagi, Bu. Suamiku tidak punya harta apa-apa. Ibu kan juga tahu siapa suamiku. Aku memilihnya karena kejujurannya, elok budinya. Surat nikah kami memang belum diurus. Biaya pengurusannya lumayan besar, Bu. Banyak meja kantor yang harus dihadapi, semakin banyak semakin banyak uangnya.

PEREMPUAN II:
Apa tidak bisa pakai surat keterangan Miskin dari Desa?

PEREMPUAN I:
Toh, sama saja, Bu. Mendapatkan tanda bukti kita miskin saja juga pakai uang. Mana ada tanda tangan pejabat yang digratiskan.

PEREMPUAN II:
Tidak perlu berburuk sangka begitu. Namanya saja berusaha, ya musti sabar, musti ikut aturan.

PEREMPUAN I:
Sudah jelas yang ngurus miskin, kok masih dimintai uang begituan.
PEREMPUAN II MENGELUARKAN BEBERAPA UANG KERTAS DARI BALIK PAKAIANNYA.

PEREMPUAN II:
Aku masih punya sedikit simpanan, uang bantuan minyak dari Kantor Desa. Ambilah, bayar dahulu hutang berapa bisanya. Mintalah dulu sedikit beras untuk hari ini. Matahari sudah mulai tinggi. Sudah sepatutnya kau ke dapur. Mungkin saja suamimu mesti lembur di tempat kerjanya. Ayolah.
PEREMPUAN I MENIDURKAN BAYINYA DI AYUN-AYUNAN, KEMUDIAN MENGAMBIL UANG DARI TANGAN PEREMPUAN II, DAN KELUAR.
PEREMPUAN II BANGKIT DARI DUDUKNYA. BERJALAN BEBERAPA LANGKAH. BERDIRI TEPAT DI TEMPAT PEREMPUAN I TADI.

PEREMPUAN II:
Tuhan, Kau kirimkan lagi perasaan itu padaku di pagi yang aneh ini. Aku senantiasa mengingat-Mu dalam setiap usahaku merubah nasib ini pada keridhaan-Mu. Hanya Zat-Mu lah yang tahu dan menentukan Takdir hidup ini.

SEORANG PEREMPUAN (PEREMPUAN III) MASUK. IA DATANG DENGAN MENGGIRING SEPEDA. BERKALI-KALIN IA BUNYIKAN BEL SEPEDA YANG BERBUNYI “KRIIING…KRIIING…KRIIING” PEREMPUAN INI ADALAH TUKANG KREDIT BARANG PERKAKAS RUMAH TANGGA.

PEREMPUAN III:
Eh, Emak! Habis olahraga pagi, ya? Ya harus begitu, Mak. Meski sudah tua, olahraga kebugaran tubuh tetap dilakukan. Biar tetap sehat. Mati urusan Tuhan. Yang penting kita menjaga tubuh agar tetap awet muda, biar tetap cantik. Saya saja rela kayuh sepeda keliling kampung demi…(terpotong)

PEREMPUAN II:
Demi menagih kreditan orang sekampung.

PEREMPUAN III:
Ya, Emak. Sambil nyelam minum susu, apa salahnya. (memarkir sepeda yang berisi barang dapur itu di salah satu sudut panggung). Kalau atlet propesional berolahraga untuk cari uang. Sedangkan saya, cari uang sambil olahraga. Hasilnya, kesejahteran dan kesehatan, cantik luar dalam (berlagak, memerkan diri dengan centil). Mak, saya masih cantik kan?

PEREMPUAN II:
Senang sekali kau hari ini. Seperti dapat durian runtuh lagak kau. Apa gerangan kalau boleh kutahu?

PEREMPUAN III:
Nah. Emak musti tahu kebahagiaan hati ini. Mulai kemarin saya resmi hidup sendiri, tanpa suami. Gugatan cerai saya terhadap Tabeni dituntaskan oleh Pengadilan Agama.

PEREMPUAN II:
Cerai?! Gila kamu.

PEREMPUAN III:
Gila bagaimana, Mak? Laki-laki seperti Tabeni itu tak bisa diharapkan. Mau diharapkan apanya? Perkawinan harus ada tek en gif kata orang seberang sana, saat memberi saat menerima kata kita di sini. Kalau dia, hanya buat saya sakit hati saja saban hari. Cari nafkah lahir tidak mau, berikan nafkah batin tidak bisa. Malahan menyiksa batin saya setiap saat. Tiap sore minta uang buat judi ceki, pulang subuh gedor-gedor pintu, mulut bau tuak. Lagak aja kayak Rambo, masak kasih keturunan saja tidak bisa. Terakhir, sebelum cerai ngancam akan mencekik leher saya kalau tak belikan dia motor. Untung saya cepat lapor ke RPK.

PEREMPUAN II:
RPK?

PEREMPUAN III:
Itu, Ruang Pelayanan Khusus di kantor Polisi. Khusus untuk menyelesaikan masalah keluarga seperti saya.

PEREMPUAN II:
Kau adukan ia kepolisi, apa kamu tidak cinta sama suamimu itu?

PEREMPUAN III:
Cinta? Itu dulu, Mak. Tiap hari dia bilang “aku cinta kamu” ketelinga saya. Klepak-klepak jantung saya. Kalau sudah nikah, mana cukup kata-kata norak seperti itu, Mak. kalau cinta, ya buktikan. Disuruh berobat kejantanannya saja tidak mau. Jelas ini tidak adil untuk sebuah rumah tangga.

PEREMPUAN III:
Jadi kamu senang hidup menjanda seperti sekarang ini?

PEREMPUAN II:
Dari pada sama dia. (menarik nafas, meredakan amarah) Bukannya saya senang, Mak. Tapi lepas dari dia serasa lepas dari penjajah. Merdeka jiwa saya (tersenyum). Emak tak perlu cemas. Walau sekarang berstatus janda, sudah ada yang mau antri melamar saya.

PEREMPUAN II:
Mau kawinan lagi kamu? Iya?

PEREMPUAN III:
Lha iya, Mak. Aku juga perempuan. Perempuan mana di dunia ini tidak berhasrat untuk melahirkan, punya keturunan, menjadi ibu. Itu hak asasi perempuan, anugrah Tuhan.

PEREMPUAN II:
Kau mau nikahan dengan siapa?

PEREMPUAN III:
(senyum, tersipu malu) Nah, sekarang ada lagi dekat dengan saya, Mak. Dua orang malah. Saya lagi ragu menentukan pilihan. (bernyanyi)…ahaaa…cintaku terbagi dua…, antara Jamal dengan Pak Karim. Yang satu perjaka ting-ting, baik pada saya, meski tidak punya pekerjaan tetap. Minggu lalu saya kasih dia satu stelan pakaian mahal. Dia senang sekali. Dari matanya terlihat dia tertarik dengan saya. Sedangkan satu lagi, Pak Karim, juragan sapi, duda beranak dua yang dicerai mati istrinya itu. Dia matang sekali, kebapakkan. Hhh, saya serasa di tengah ungkat-ungkit mainan anak TK sekarang ini. Mau berlabuh di dada siapa. (mengundi jumlah jemarinya)Jamal…Karim…Jamal…Karim…Jamal…Karim….Jamal …Karim...Jamal…

PEREMPUAN II:
Menentukan pilihan tidak segampang itu, Tati. Apalagi menyangkut dengan pasangan hidup di masa depan. Kau tentu tak mau kecewa lagi dengan lelaki. Laki-laki mencari perempuan kebanyakan berawal dari selera matanya, baru masuk kekalbunya. Sebenarnya, kita perempuanlah yang menentukan pilihan. Kita dilebihkan Tuhan dengan perasaan yang sangat halus, untuk menangkap jauh lebih dari sekedar yang kasat mata saja. Dengan mata kalbu itu kau bisa menentukan pilihanmu. Kau tahu, laki-laki akan hancur jika tidak dipilih oleh perempuan pujaannya. Tapi kalau dia benar-benar cinta, seluruh impian kita mereka usahakan mewujudkannya.

PEREMPUAN III:
Jadi cinta itu tidak bisa diulur-ulur, ditunda-tunda seperti barang kreditan ini, begitu maksud Emak?

PEREMPUAN II:
Tepat! Begitu ijab-kabul, terciptalah sebuah ikatan suci untuk membentuk keluarga sakinah. Ikatan yang semestinya tidak dicorengi oleh pengkhianatan, saling merendahkan, apalagi main kekerasan. Semestinya saat itu sudah ada tujuan hidup untuk dunia dan akhirat. Saling menjaga keseimbangan. Tugas sehari-hari dibagi. Laki-laki tulang punggung bagi keluarganya, perempuan dagingnya. Dahulu aku merasakan itu pada suamiku. Tapi setelah dia hilang, aku tidak bisa menempatkan laki-laki manapun di hatiku. Bertahun-tahun kumasuki berbagi kantor untuk mengetahui keberadaannya. Tapi hanya omong-kosong. Orang-orang itu malah tidak percaya aku istrinya. “mana surat nikah ibu?” apakah ini pernah kuceritakan padamu?

PEREMPUAN III:
Ya, ya. Semua pernah Mak ceritakan. Sekali lagi. Saya hanya bisa turut prihatin atas duka Mak.

SEORANG GADIS MUDA MASUK. GADIS INI ADALAH PETUGAS (MITRA) SENSUS YANG SEDANG MENCARI DATA PENDUDUK DARI RUMAH KE RUMAH.

GADIS :
Assalamualaikum!

PEREMPUAN II DAN PEREMPUAN III:
Waalaikumsalam

PEREMPUAN II:
Pagi-pagi kau datang, dan apa pula yang kau bawa itu?

GADIS :
Ini namanya lembaran kuisoner, Mak.

PEREMPUAN III:
Kuisoner? Jadi kau hendak memberi Mak dan orang sekampung kuis, seperti dalam televisi itu? Mendatangi rumah-rumah orang dan membagikan uang. Baik sekali kau.

GADIS :
lha, Bu Tati. Kuisoner ini berisi daftar pertanyaan untuk sensus, untuk mengetahui berbagai hal dalam sebuah keluarga. Berapa jumlah dalam sebuah rumah, apa jenis kelaminnya, berapa usianya, apa pekerjaanya, sudah menikah atau belum, dan banyak lagi pertanyaan yang mesti dijawab.

PEREMPUAN III:
Banyak tanya? Kalau tidak bisa dijawab bagaimana?

GADIS :
Aduh. Pertanyaan ini kan selalu ada jawabanya. Gampangan. Pertanyaannya bukan test atau ujian sekolahan.

PEREMPUAN III
Kalau dijawab imbalannya apa?

GADIS :
Lha, nanya imbalan lagi. Pertanyaan ini berguna untuk pemerintah. Biar pemerintah tahu kondisi rakyatnya. Soal imbalan, saya juga belum tentu dapat imbalan berapa dari menjalankan ini. Saya dapat pekerjaan ini dari petugas sensus di kantor Kecamatan. Ya, paling tidak dari pekerjaan ini saya punya modal untuk pernikahan.

PEREMPUAN III:
Kau mau kawinan juga, Dara?

GADIS :
Baru rencana, Mak. Tiga bulan lagi adik saya yang bontot tamat Sekolah Menengah Atas. Setidaknya sudah selesai tanggungan saya menyekolahkan seluruh adik-adik saya. Setelah itu saya bisa menikah.

PEREMPUAN II:
Dengan siapa kau hendak berjodohan. Dengan orang asing dulu? Yang pernah dulu kau bawa ke desa ini?

GADIS :
Tidak. Manalah mau dengan laki-laki macam itu.

PEREMPUAN III:
Kenapa tidak? Bule yang kau bawa itu kan gantengan, gagah. Dari lagaknya, itu bule pasti punya harta banyak. Kau kan bisa bisa merubah hidup jika nikah dengannya. Saya dengar dari cerita orang, dia bekerja di pertambangan minyak. Kalau kawinan sama bule itu, kamu bisa seperti artis sinetron yang lagi senang kawinan dengan bule-bule.

GADIS :
Memang bule itu gagah dan kaya, sampai saya di iming-imingi dibelikan rumah bagus di Ibu kota. Tapi…

PEREMPUAN III:
Tapi apa?

GADIS :
Saya tanya sama Bu Tati, apa mau Bu Tati menikah, kawinan dengan batas waktu yang ditentukan. Kalau bule itu mudik ke kampungnya kita terpaksa harus bercerai, ditinggal begitu saja.

PEREMPUAN III:
Lho! Kok pakai batas waktu? Memangnya menikah itu pertandingan bola apa. Bukankah menikah itu untuk mencari pendamping yang setia seumur hidup?

GADIS :
Makanya saya tidak mau. Memang kita ini rumah petak kontrakan, pakai jangka waktu, kalau waktu habis bisa di tambah pembayaran atau pindah. Untung saya masih kuat iman lihat hijaunya uang dari orang yang menjodohkan saya dengan bule itu.

PEREMPUAN III:
Terus kamu hendak menikah dengan siapa?

GADIS :
Ya, dengan tunangan saya yang sekarang.
PEREMPUAN II:
Jadi kamu sudah punya calon? Baguslah. Orang mana?
GADIS :
Masih laki-laki kampung kita ini jua. Orangnya baik, tapi belum punya perkerjaan tetap.

PEREMPUAN III:
Pekerjaan bisa dicari. Pepatah lama mengatakan ‘ada kaki pasti karena ada paha, ada rejeki pasti karena usaha’ siapa calonmu itu?

GADIS :
Jamal, Bu Tati.

PEREMPUAN III:
(terkejut mendengar jawaban itu, tapi berusaha meredamnya) Jamal?


PEREMPUAN II TERSENYUM GELI MELIHAT TINGKAH PEREMPUAN III

GADIS :
Iya. Orangtuanya datang ke rumah saya. Menanyakan kesediaan saya menjadi istri anaknya. Tapi saya katakan, saya harus menuggu adik saya tamat sekolah dulu. Karena hanya saya yang menanggung sekolah adik-adik setelah bapak meninggal.

PEREMPUAN III:
Apakah kau yakin dan mencintai Jamal?


GADIS :
Cinta bisa ditumbuhkan setelah ada ikatan lahir batin. Bukankah begitu, Mak? Saling berusaha mengisi satu sama lainnya. Bukankah itu cinta yang berkualitas. Iya kan, Mak?

PEREMPUAN II:
Ya. Aku perah merasakan cinta seperti itu. Cinta yang memberi keadilan pada kita sebagai istri.

PEREMPUAN III:
(Memotong) Itu sudah pernah Mak ceritakan pada saya.

PEREMPUAN II:
Kau juga telah pernah mendengarnya, Dara?

GADIS :
Belum, belum kudengar.

PEREMPUAN III:
Sebelum Mak bercerita lebih lanjut, saya permisi dulu. Saya mesti buru-buru. Mak, kalau nanti Mila balik, tolong sampaikan bahwa saya tadi datang. Tagihan kredit kompornya pekan depan saja di dobel.

PEREMPUAN II:
Terburu kemana kau?

PEREMPUAN III MENGHAMPIRI PEREMPUAN II DAN BICARA BERBISIK .

PEREMPUAN III:
(berbisik di telinga) Mau mencari si Jamal. Keterlaluan dia! Kemarin cengengesan saya kasih pakaian mahal. Pakai muji saya segala. Dia harus bayar itu pakaian!

PEREMPUAN II:
Kau mesti tahu diri, jarang-jarang perjaka berburu janda, kalau tidak ada maunya.

PEREMPUAN III KELUAR DENGAN CEMBERUT MENDORONG SEPEDANYA. PEREMPUAN II TERSENYUM GELI MELIHAT TINGKAH
PEREMPUAN III.

GADIS :
Saya juga mau tanya nih, Mak. Sedari tadi Bu Milanya kok tidak kelihatan?

PEREMPUAN II:
Lagi ke warung, beli beras. Katanya cuma sebentar.

GADIS :
Saya juga tidak bisa lama-lama menunggu nih, Mak. Takut tidak selesai pendataan ini hari ini. Lebih baik saya ke rumah sebelah dulu. Nanti saya balik lagi.

PEREMPUAN II:
Ya, tidak apa. Itu lebih baik dari pada menyia-nyiakan waktu. Nanti kusampaikan pada Mila.

GADIS :
Saya permisi dulu, Asalamualaikum.

PEREMPUAN II:
Waalaikumsalam.

GADIS KELUAR. TINGGAL PEREMPUAN II SENDIRIAN MEAYUNKAN BAYI DI AYUNANNYA. PEREMPUAN ITU TAK HENTI-HENTI MENATAP JAUH KE HALAMAN.

MUSIK MENGALUN SENDU MENGIRINGI PEREMPUAN II BERSENANDUNG.
BAYI DI AYUNAN MENANGIS.
PEREMPUAN I MUNCUL DENGAN WAJAH MURUNG.

PEREMPUAN II:
Ada apa, Mila? Kenapa wajahmu kian pucat.

PEREMPUAN I:
Tadi aku singgah sebentar ke rumah Tini. Suaminya yang sama bekerja dengan suamiku juga belum pulang. Katanya Ia mau menurut suaminya ke ibu kota.

PEREMPUAN II:
Sabarlah dahulu. Tenangkan pikiranmu. Aku tahu jiwa mulai tidak nyaman. Baiklah. Biar aku saja yang masak hari ini.

PEREMPUAN II MENGAMBIL BERAS DARI TANGAN PEREMPUAN I. MASUK KEDALAM RUMAH.
PEREMPUAN I TERISAK-ISAK.
MUSIK SENDU MENGALUN LIRIH.
BAYI MENANGIS SEMAKIN KERAS.
PEREMPUAN I MENGAMBIL BAYI DARI AYUNAN DAN MELANGKAH MENGHADAP KEPENONTON, MENATAP NANAR.

PEREMPUAN I:
Menangislah sayang, biarkan angin menggiring tangismu, menjadi pesan untuk ayahmu. Lalu tersenyumlah, hanya senyummu yang akan menghangatkan diriku. Walau badai hidup akan menerbangkan impianmu, akan kulayarkan jua bahtera hidup ini ke tengah samudera dunia. Walau tanpa pendayung akan kukayuh jua dengan telapak tanganku. Tuhan, hanya Kau yang tahu Gerak, hanya Kau yang tahu arah langkah. Hanya Kau yang tahu rahasia Gelombang hidup ini. Beri aku jawab bila pada-Mu bermulai tanya, beri aku Pilihan bila pada-Mu berasal ragu…

SENANDUNG MENGALUN RINTIH.
MUSIK PERLAHAN-LAHAN REDUP.
SELESAI.
kupersembahkan buat Ibu, Uni, Sadiya dan Navisa kelak kita kan berumah,duduk dan bercengkrama di beranda.
Padang, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar