Cerpen: Ilham Yusardi
Pak Uwir turun dari kuda-kuda yang belum jadi itu dengan hati-hati. Kayu kuda-kuda itu tidak terlalu besar. Maklumlah, rencananya rumah ini hanyalah bertipe Rumah Sangat Sangat Sederhana Sekali Sehingga Selonjoran Saja Susah (RSSS...). Kalau tidak mau di bilang gubuk, rumah ini hanyalah rumah biasa yang jauh dari kontruksi standar sebuah bangunan. Tidak ada pondasi yang digalikan kedalam tanah, tidak ada besi-besi beton cakar ayam. Kayu kuda-kuda yang terpasang itu cuma kayu 4x6 yang biasa saja. Kalau kayu itu patah, bisa-bisa pak Uwir, tukang kepala itu jatuh dari ketinggian dua meter itu.
“Kenapa turun, Pak Uwir?” Sahut Pak Talib yang sedari tadi sibuk menggergaji, memahat, memaku kayu untuk membuat sambungan kayu.
“Paku Panjang Empat habis. Lagi pula biarlah kuambil nafas sebentar, di atas panas sekali, matahari sudah tinggi,” sorak Pak Uwir dari jenjang kayu yang berderik derik ketika dipijaknya. “Ternyata sudah mulai menggigil lututku kalau kerja di tempat yang tinggi,” lanjut Pak Uwir mencandai Pak Talib.
“Hahahaa..., usia itu Pak Uwir, besi saja lapuk dimakan waktu, apalagi kita.”
“Ya juga, Sudah lama tidak”
Pak Uwir sampai di bawah. Huufffff....,ia menghembuskan nafas kencang. Topi bundar loreng militer di kepalanya dibuka. Tampak kepala setengah botak di bagian belakang atas itu bersimbah peluh. Ia mengipas-kipaskan topi untuk memancing hembusan angin.
“Tambaro! O, Tambaro! Kemarilah” Sahut pak Uwir memanggil lelaki muda, pesuruh tukang bangunan yang sedari tadi sibuk mengaduk semen. Dengan sepatu bot yang kedodoran dikakinya yang ceking, tergopoh-gopoh Tambaro mengahampiri arah suara panggilan itu.
“Ada apa, Pak?”
“Tambaro, paku panjang empat habis. Kau pergilah ke Anduring, temui Etek Samsidar di rumah gadangnya. Minta ke dia uang tigapuluh ribu, katakan untuk beli paku. Beli paku di toko bangunan Gonjong Limo Andalas, di situ murah”
“Ya, Pak. Baik” Tambaro yang sudah sering ikut kerja sama Pak uwir selalu siap untuk mendengar aba-aba, perintah dari komandannya itu. Segera ia menanggalkan sepatu bot, menggantinya dengan terompah Jepang.
“Kalau uang bersisa, beli saja rokok. Sudah kelat muncungku” Tambah Pak Uwir.
“Oke, siap komandan!” Tambaro langsung mendorong sepeda Unto Pak Uwir yang tersandar di bawah batang kelapa. Tak jauh dari situ.
***
Rumah itu baru setengah jadi. Sudah seminggu mengerjakannya, bentuknya sudah tampak. Rangka-rangka kayu besar sudah berdiri. Tidak terlalu besar. Rencananya rumah itu dibuat semi permanen. Tidak ada gambar rencana. Rencananya, dinding rumah hanya setengah ke bawah dibuat dari batako lobrik. Sedangkan keatasnya akan didinding dengan papan sibiran saja. Kemarin, katanya Etek Samsidar sudah memesan kayu sibiran di Gadut.Tapi papan sibiran belum juga datang.
Lantai rumah itu yang rencananya dua kamar dengan ukuran 3x3 meter itu akan dicor kasar saja. Kata Etek Samsidar lagi, cukuplah dicor kasar saja dulu. Kalu ada kepeng lagi nanti bisa dilapisi dengan perlak plastik yang serupa marmer itu.
Suara gergaji Pak Talib mendesau-desau berirama. Sesekali terdengar bunyi kelotak paku dihantam palu. Sedari mulai kerja pukul delapan tadi, Pak Talib sibuk mengukur, memotong, memahat dan memaku kayu sepanjang empat meter itu untuk disambung-sambung menjadi enam meter. Sesuai panjang rumah. Kayu itu akan digunakan untuk reng kuda-kuda bagian atas, penopang seng.
Pak Uwir menuang kopi ke gelas. Dilihatnya jam tangan rolex imitasi yang menempel ditangannya. Jarum terkecil sudah menunjuk angka 12.
“Sudah tiba pula waktunya sumatra tengah, Pak Talib.”
“Ya. Tapi Etek Samsidar belum datang mengantar rantang. Biasanya jam segini sudah datang. Kemarin saja pukul sebelas sudah makan siang kita”
“Kalau kuda-kuda dan reng terpasang hari ini, besok kita tinggal menaikkan seng saja lagi, bukan begitu, Pak Talib.” Pak Uwir sibuk meniup-niup kopi panas. Uap putih menyibak dari bibir gelas.
“Iya Pak Uwir. Seng sudah datang. Dua kodi. Besok kita pasang seng. Pak Uwir di atas ya”
“Sudah kubilang, Lututku sudah menggigil kalau memanjat tinggi-tinggi.”
“Hahaha, cepat benar tua Pak Uwir ini. Jadilah, besok aku yang di atas memaku seng. Pak Uwir di bawah mematut lurus tidaknya pasangan seng.” Pak Talib berdiri. Mengambil nafas. Menuang kopi separuh gelas, mendinginkan sebentar, menyalakan sebatang rokok dan menyeruput kopi.
“Eh, Pak Talib, kalau rumah ini selesai tentu Etek Samsidar akan turun dari rumah gadang kaumnya di Anduring itu. Kabarnya, Roza, anak Etek Samsidar yang bekerja di Malaysia itu akan pulang kampung bersama suami dan anaknya. Konon, Roza tidak mau tinggal di rumah gadang kaum itu. Ia yang mengirim uang untuk membeli bahan bangunan rumah ini”
“Kenapa begitu, Pak Uwir?”
“Hahh..., tidak tahulah. Etek Samsidar sudah malas bercekcok dengan saudara sepupunya yang lain. Makanya ia beranikan diri membangun di tanah pusaka ini. Karena ini jatah pembagian Etek Samsidar, katanya.”
“Kalau kaum berpusaka banyak itulah enaknya, Pak Uwir. Selalu ada jalan bagi yang membutuhkan.”
“Ya, begitulah Pak Talib. Kalau kita, manalah punya pusaka lagi. sawah, kolam dan ladang sudah habis dijual datuk-datuk, mamak-mamak kita dahulu.”
“Ya, mamak hari ini hanyalah untuk bermamak panggilan saja. Hahaha... Eh itu Etek Samsidar datang.”
Etek Samsidar, perempuan separuh tua itu menenteng dua rinjing rantang.
“Maaf, Telat awak Wir, Lib. Tadi terlambat pulang dari pasar. Sebelum ke pasar awak singgah dulu di Rumah Sakit Umum. Membezuk Datuk Sampono Seso.”
“Datuk Sampono Seso masuk rumah sakit?” Pak Uwir menatap Etek Samsidar.
“Iya. Tadi malam sempat stroke. Tidak bisa digerakkan tangannya. Mulutnya pencong. Tapi saat kulihat tadi sudah agak baik mamakku itu.”
“Syukurlah. Mudahan cepat sembuh Datuk.”
Etek Samsidar sibuk membuka bungkusan kain rantang. Nasi panas mengepulkan uap putih. Etek Samsidar menating ke tikar plastik seadanya. Rantang berikutnya, di bawah rantang nasi, kepala ikan karang digulai pangek seakan melotot matanya menggoda liur Pak Uwir. Pak Uwir menelan ludah, menahan selera. Dibawahnya lagi, sayur pucuk ubi menimbun merahnya Sambalado. Pak uwir berdecak, rupanya etek memanjakan selera tukangnya dengan makan besar hari ini. Belum lagi, dirantang terakhir ada potongan magga golek yang sudah di iris-iris sebagai pencuci mulut.
Tambaro pun sudah balik. Di sandarkan sepeda ke batang kelapa. Ia letakkan paku di ember. Ia melihat kedua tukang sudah membasuh tangan untuk makan. Ia pun bersiap untuk bergabung.
“Setengah bungkus dapat rokoknya cuma, Pak uwir.” Tambaro menyodorkan ke Pak Uwir.
“Cukuplah untuk penutup makan besar ini.”
Maka, tanpa basa-basi, tanpa disuruh-suruh lagi, ketiga pekerja bangunan itu sudah sibuk menyanduk, memindah isi rantang ke piring masing-masing. Kepala ikan karang terkoyak, sambalado mengubah warna nasi jadi merah, suap demi suap saling berpacu diantara meraka. Lahap. Peluh berpacu pula keluar akibat pedasnya sambalado.
Sementara itu, Etek Samsidar berdiri tidak jauh dari situ. Ia mematut-matut rumah. Sekilas terbit senyuman puas di bibirnya. Mungkin ia sudah membayangkan rumah itu selesai dalam waktu seminggu ini, atau Etek samsidar sudah membayangkan ia akan tinggal dengan tenang bersama Roza, menantu dan cucunya di rumah itu. Seburuk apapun rumah itu, ia tentu akan senang bisa turun dari rumah gadang, lepas dari tekanan dan gunjingan saudara-saudara sekaumnya yang lain. Mata Etek Samsidar menatap bubungan kuda-kuda. Tapi ia tersentak karena cahaya matahari yang terik menyonsong matanya. Silau.
Saat itu pulalah sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan areal itu. Mobil terseok-seok, tergesa menerobos tanah yang bergelombag, mesinnya menderu-deru kasar.
Mobil itu tak bergerak lagi. Seorang wanita paruh baya, agak lebih muda dari Etek Samsidar turun dengan sangat gegas.
“Heh! Mana Idar? Heh! Mana Idar? Mana dia?” Tanpa babibu, hardikan dengan suara yang cempreng itu menyeruak telinga Pak Uwir, Pak Talib dan Tambaro. Sementara Etek Samsidar yang disebut namanya segera melangkah mendekat perempuan itu.
“Warni. Kau pulang?”
“Hehh..., kalera kau! Seenaknya perut saja kau membangun di tanah ini! Kau kira ini tanah gono-gini bapakmu? Hehh! Tidak sepersen pun uang bapakmu di tanah ini! Ini tanah pusaka! Saya juga berhak atas tanah ini! Siapa yang mengizinkanmu mendirikan rumah di sini? Ini tanah pusaka kaum! Belum ada pembagian yang sah oleh Datuk Sampono Seso! Malahan uangku yang dipinjam Datuk tak dikembalikan sampai sekarang. Katanya tanah ini jaminannya!”
“Warni, ada apa ini? Jauh-jauh kau dari Jawa hanya untuk memaki, becarut-carut di sini.”
“Kalera, Kau! Tak tahu diuntung Kau! Anak haram!”
“Jaga muncungmu Warni!”
Pak Talib, Pak Uwir maupun Tambaro terhenyak kehilangan selera makan mendengar pertengkaran itu. Matahari mendiang kulit kepala. Suara kedua perempuan itu makin menggelegak.
“Kau memang anak haram! Mana ada kandungan enam bulan saja sudah lahir. Kaulah orangnya! Anak haram tidak berhak atas harta pusaka!”
Samsidar meraih piring kaca dengan remah nasi bersisa di atasnya. Warni melihat gelagat Samsidar. Ia mengambil batu yang sekepal tangan yang terinjak kakinya. Samsidar melempar piring bak seorang atlet lempar cakram. Warni menolak batu bak seorang atlet tolak peluru.
Brakkk!
Prangg!
Setelah itu hanya pekikan sopran dari dua warna suara yang berbeda berkejaran dengan azan zuhur yang mulai terdengar, membubung kusut ke langit yang tinggi. Dan dua tubuh menggelepar-gelepar bagaikan ikan terdampar di pasir tak berair.
Sarilamak, 1 Muharram 1431
dipublikasikan pertama kali di Harian Padang Ekspres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar