Makan apalagi kau. Makanlah sekeranjang khuldi. Laparmu berhenti di simpang zaman. Kaukah gelandangan sejarah. Pahlawan. Tanah airmu penuh luka. Penuh kisah cinta yang mengharukan. Presidenmu sering menangis ya. Suka nonton drama. Tetanggamu nonton gambar porno bajakan. Perempuan cantik. Makanlah lagi. Rebus saja ubi kayu. Nanti busung lapar. Kepala membesar. Tak besar kepala negaramu.
“Negeri kita kaya, Nak” Ibumu tidak bohongkan.
Kau cantik. Melayu ya. Kulit warna khatulistiwa. Aroma pala. Matamu bening matahari pagi. Boleh jatuh cinta. I love you. Je t’aime . Yes. Ya. Iya kamu. Siapa kupanggil. Sitty. Nama zaman kolonial. Sophie saja. Lebih mudah. Patah lidahku. Cerita kakekku nama tanah ini dahulu Hindia Belanda. Insulinde juga boleh. Masakannya enak. Makanlah. Jangan itu. Itu bom. Nanti meledak kota di mulutmu. Lidah bisa ribut. Koran habis halaman. Halaman rumahmu luas. Buat sawah saja. Biar kubajak malammu. Maaf.
“Menjalin persatuan dan kesatuan!” siaran tvmu memerintah.
Kau patriotik. Suka megepal tangan. Merdeka! merdeka! Katamu di cerobong. Sering muncul warna merah di jalan. Anyir. Ikan busuk. Mulutmu lahirkan demontrans. Rakyat kecil buat komunitas. Lsm orang tertindas. Hak!. Hahaha hak! Ham mmm! Buat partai yuk. Kita-kita saja. Partai apa bagusnya. Komunis jangan. Hiii! Disini ditemukan comunistophobia syndrome. Bisa hilang selera makan. Makanlah. Makan kawanmu. Mulutmu penuh deterjen. Berbusa. O cuci mulut. Bersih-bersih ya.
“Jangan buang kata di sini. Kecuali anjing!” Siapa yang marah dalam plang itu.
Kamu mirip politikus orba. Lihat hidungmu itu. Sama merah. Seperti ada cabe. Warna bendera. Makanlah cepat. Ada yang datang. Keretap sepatu lars. Sembunyilah. Ke dalam nisan saja. Buat nama ya…
“Dor!dor!dor!” Kok makan mesiu.
Maaf lagi. Aku pergi.
“tuhan mengundangku makan malam. Aku lapar. Tolong pesan iklan dukacita untuk esok”
Makanlah
Rumah Teduh, 1426.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar