Kamis, 03 Februari 2011

Manggok

Cerita Pendek
Ilham Yusardi
Manggok

      Sudah lima hari Pudin pulang dan tidur di Rumah Gadangnya. “Kenapa pula Pudin tidak pulang ke rumah Maryam, bininya itu? Ada apa pula agaknya?” Pikir Bainar. Memang, ia belum bertanya dan belum dapat kejelasan langsung dari adik bungsu semata wayang itu. Alang hari, Pudin hanya turun-naik, hilir-mudik, antara tangga Rumah Gadang ke warung Uwo Ijah di simpang ujung jalan yang tidak jauh dari rumah. Jika tidak ada para bujang yang bermain domino atau kartu koa disitu, ia kembali ke rumah. 

       Kalau di Rumah Gadang, paling Pudin cuma duduk di beranda depan, di kursi rotan reot peninggalan ayah. Di kursi itu, ia mengupil-ngupil kuku kaki, atau mencabut-cabut janggut dengan jepitan dua uang logam. Dan tak jarang Bainar dapatkan Pudin tertidur kere di kursi. Kalau Magrib sudah datang, Pudin tidak berkemas untuk berangkat ke rumah bininya di Padang Tui. Malahan ia bergegas, bertelanjang dada, handuk di pundak, bawa ember kecil untuk mandi sore ke sungai Batang Maek yang dua puluh meter di belakang rumah. Shalat Magrib di surau kaum—Bainar bersyukur betul lihat Pudin sudah rajin sembahyang sekarang. Tapi ia sangsi juga: Apakah Pudin rajin shalat hanya pelarian, karena bingung, malu, tidak tahu apa mesti dikerjakan lagi saat semua orang sibuk beribadah Magrib? Terserahlah, Bainar menghapus curiganya. Selepas Magrib, ia duduk di lepau Uwo Ijah lagi, dan tengah malam Pudin pulang, masuk Rumah Gadang dari pintu dapur yang sudah sengaja tidak dikunci, lalu tidur di kamar belakang dekat dapur.

Seperti sore kemarin, Pudin baru terbangun bermalas-malasan di kursi beranda ketika Uda Zainal, suami Bainar, muncul di tangga rumah, pulang bekerja. Pudin terkejut dan terbangun sebab suara Uda Zainal mengucapkan salam. Lebih dari itu tak ada mereka bicara. Sebab, Uda Zainal tak pula banyak bicara dengan Pudin. Paling tiga patah kata, basa basi, dan Uda Zainal akan langsung masuk kamar. Karena, mereka sama-sama tahu, sama-sama segan. Tentu keduanya sadar diri, bahwa tak baik antara mamak-rumah dengan semenda bicara banyak, apalagi bicara yang tak penting atau tak patut.
Bainar malas menanyakan langsung pada Pudin kenapa ia tak pulang ke Maryam. Ia tahu betul tabiat adiknya yang keras, yang tidak suka ditanya-tanya, tidak suka dicampuri urusannya. Manalagi Bainar hapal betul, darah muda Pudin yang masih berumur dua puluh tujuh tahun itu, masih mudah menggelegak kalau tidak suka dengan sesuatu. Jika Pudin marah, cintang-perenang isi rumah. Mungkin kursi itu patah-patah, mungkin jam dinding, yang melayang dari tempatnya, atau piring nasi yang sedang ditangannya (kalau ia sedang makan) berterbangan ke halaman. Jangankan untuk bertanya, melihat tajam sorot matanya yang lubuk dalam itu, mungkin Bainar sudah gemetar duluan.
* * *
Lima hari berturut-turut, Bainar mulai tidak tenang pikiran melihat adiknya. Pastilah ada perkara yang sedang disembunyikannya, kira Bainar. Meskipun dulu tabiat kasar dan angkuh itu sering nyasar padanya, Bainar tetap perhatian pada Pudin. Berkarat rotan pun, berpatah-tulang pun, ia tetap adik kandung, sedarah-sedaging, seibu-sebapak baginya, yang tiada dua saudara lagi, pikir Bainar. 

Ia risau melihat Pudin tiap bangun pagi, duduk di beranda. Murung. Seakan tidak di badan pikirannya. Kalau Bainar menyiapkan minum pagi buat suaminya, mau tak mau ia buatkan juga segelas kopi buat Pudin. Bainar juga hapal adukan kopi yang disukai Pudin: kental dengan sedikit gula. Agak pahit. Kalau kopi itu tidak berkenan di lidahnya, ya, ia akan membiarkan saja, tidak diminumnya lagi.

Hari ini Bainar mulai menerka-nerka. Apa benar yang dikatakan Uda Zainal sebelum mereka tidur tadi malam, yang justru setelah mendengarnya, membuat mata Bainar tidak dapat dipejamkan lagi. Menurut Uda Zainal, Pudin mungkin sedang manggok dari istrinya, Maryam. “Barangkali Pudin dan Maryam sedang bertengkar, berselisih paham, tak sepikiran, tidak seiya-sekata,” uda Zainal menjelaskan.

“Biasanya begitu tanda-tanda seorang laki-laki manggok terhadap suaminya. Ia tidak akan pulang ke rumah si istri. Si laki bakal pulang ke kampungnya. Dahulu, orang yang sedang manggok tidur di surau, makan di lepau, layaknya laki-laki bujang. Tapi sekarang orang sudah tidak ada lagi tidur di surau. Itulah sebabnya Pudin pulang ke sini, di larut malam, agar tidak tampak oleh orang kampung,” begitu Uda Zainal menerangkan. Bainar terheran, dan tertawa dalam hati saja mendapatkan keterangan itu. Ia tidak pernah tahu sekalipun tentang itu. Lagi pula, sepuluh tahun pernikahan dengan Uda Zainal, meskipun belum dikaruniai keturunan, tidak sekalipun suaminya itu melakukan manggok. 

Kata uda Zainal lagi, “Kalau seorang laki-laki manggok dari suaminya, maka si istrilah yang datang membujuk suaminya kembali. Si istri harus datang ke Rumah Gadang suaminya. Satu hal penting, sebagai syarat wajib, istrinya harus datang dengan membawa ayam panggang! Kalau tidak, bujukan itu tidak akan diindahkan si laki-laki. Ia tidak akan mau kembali. Ia merasa tidak dihargai. Malu besar baginya kalau diketahui kawan-kawannya bahwa ia tidak dijemput dengan Ayam Panggang”

“Ayam Panggang?”
* * *
Mendengar penjelasan Uda Zainal semalam, paginya, ingin pula Bainar mencari tahu kebenarannya. Apa betul Pudin sedang Manggok. Kalaulah memang itu sedang terjadi, apa pangkal balanya? Tapi, dari siapa pula ia bisa tahu. Tentu tak ada orang yang tahu selain mereka berdua suami-istri, Pudin dan Maryam. Apakah mungkin anak mereka, Sadiya, juga tahu? Tapi, Bainar berpikir lagi, sejauh manalah gadis kecil kelas satu Sekolah Dasar itu tahu tentang panas-dingin keintiman orang tuanya. 

Bainar tidak patah arah arang. Ia perlu mengetahui apa sebenarnya yang terjadi antara Pudin dengan Maryam. Bainar khawatir kalau memang telah terjadi pertengkaran besar. Lebih mencemaskan Bainar lagi, apakah Pudin main tangan? Atau lebih parah lagi, apakah Pudin telah berkata-kata ‘cerai’ terhadap Maryam? Kalau kata itu telah terucapkan oleh Pudin, tentu sudah jatuh pula talak satu terhadap istrinya. Kalau talak satu sudah jatuh tentu tambah rumit. Gerbang kehancuran rumah tangga. Kalau rumah tangga mereka hancur betapa kasihan dengan Sadiya, putri mereka satu-satunya, yang masih terlalu kecil menerima nasib malang perpisahan orang tua. Bainar makin gelisah oleh pikirannya sendiri yang cepat menjalar-jalarkan risau dihatinya.
* * *

Hari ini hari Kamis. Hari pekan. Di kampung itu hanya pada hari Kamis orang-orang turun untuk berdagang, berjual-beli. Bila hari pekan datang, pagi-pagi orang sudah berdatangan ke pasar kampung untuk menggelar dagangan. Pada umumnya orang kampung itu peternak dan petani. Jadi, segala macam hasil tani seperti Ubi, Kacang, Nenas, Manggis, Durian, Kelapa, segala macam sayur muda bersimbahan di los-los pasar. Kerbau, sapi, kambing, ayam, itik, angsa, puyuh dan segala macam hasil ternak tentu akan ikut meramaikan pekan. Segera Bainar melangkah turun dari tangga Rumah gadang.
Maksud Bainar ke Pekan tak lain hanya untuk berusaha bertemu Maryam. Bainar yakin, kalau Maryam pasti juga akan ke pekan. Lagi pula jarak rumah Maryam ke pekan cukup dekat. Kemudian, setahu Bainar, Maryam selalu muncul di pekan meski ia tak sedang mau menjual apapun. Paling tidak ia datang ke pekan untuk membantu Marlena, kakaknya, yang berjualan Lontong-Pical di pekan. 

Sepanjang jalan, dalam langkah gontai, Bainar tak berkesudahan memikirkan perihal Pudin dengan Maryam. Tak lupa ia berdoa bertemu Maryam selekasnya. Dan berharap kusut rumah tangga ini dapat diperbaiki.
Perkiraan Bainar tak meleset. Begitu Ia sampai di kelok, pangkal los pasar, di depan lepau Lontong-Pical Marlena yang sedang ramai, Bainar menampak Maryam sedang sibuk pula membereskan piring-piring kotor. Bainar masuk lepau, namun karena ramainya, Maryam tak sempat melihat. Bainar sementara duduk saja menunggu redanya kesibukan Maryam.

“Mar,” ia mencolek dan menarik tangan Maryam. Maryam terkesiap
.
“Eh, Uni . Ondeeh, maaf Uni, tak sangka Uni kiranya. Duduklah Uni sebentar, Mar ambilkan Pical.” Tak lepas keterkejutannya, ia salinkan air putih dari teko segelas, di sodorkannya ke hadapan Bainar.

“Tak usahlah, Mar. Tadi Aku sudah makan pagi di rumah.” Menjawab basa-basi itu. Bainar, menangkap sesuatu yang lain di air muka Maryam. Maryam tak dapat menyurukkan gugupnya saat tatapan Bainar mencoba menerobos masuk ke hulu matanya. Pada detik berikutnya, Maryam mematahkan tatapan itu. Keduanya saling paham saja apa yang hendak mereka perbincangkan.

“Kita ke belakang saja, Uni. Tak elok didengar orang banyak,” ditutup ajakan itu dengan senyum. Senyum yang galau. Bainar mengekor langkah Maryam, melewati lorong kecil antara sela meja makan. Ritmis suara sendok menyentuh piring baur dengan suara ingsutan terompah mereka. Di dapur, Marlena sibuk mengaduk kuah kacang, didihnya meletup-letup, asap uap panas tungku meruapkan harum kuah kacang. Marlena tersenyum, heran bercampur senang melihat kehadiran Bainar.

“Eee, Nar. Sudah dari tadi Kau? Marlena yang agak pekak, seakan setengah bersorak menyapa.

“Ndak juga, baru. Teruslah memasak. Ndak usah sibuk-sibuk. Awak mau bicara dengan Maryam sebentar.”

Marlena mengangguk-angguk, berkepahaman dengan perihal yang akan Bainar dan Maryam rundingkan.
Maryam menarik dua bangku kecil dari kolong meja yang di atasnya penuh dengan bahan dan bumbu masak itu. Satu ia sodorkan ke Bainar, satunya ia duduki. Mereka mengambil tempat duduk agak sedikit berjarak dari tungku kayu api, agar tidak kepanasan, dan tidak menggangu Marlena memasak.

“Jadi..., bagimana cerita kau dan Pudin sebenarnya, Mar?” Meski sedikit segan dan was-was, lepas jua kalimat tanya dari muncung Bainar. Ia lihat Maryam langsung berubah air mukanya, membuang muka sejenak. Lalu, entah sebab apa pula, ada retak kaca di mata Maryam.

“Mar tidak tahu siapa yang salah antara kami Uni,” retak kaca di mata Maryam pecah rapuh, mencair dan meleleh mengalir di kulit pipinya, ia tahan sebak hatinya. “Seminggu yang lalu Mar terima uang kongsi tani, lima ratus ribu. Kata Uda Pudin, berikanlah padanya uang itu dulu, buat uang muka kredit motor. Namun Mar gunakan uang itu untuk bayar sumbangan sukarela Sadiya yang masuk SD, dua ratus ribu. Seratus ribu Mar belikan baju dan bukunya, seratus lima puluh bayar utang di kedai Upik Sangek. Sisa lima puluh ribu, Mar belikan lauk-pauk. Habis Uni. Uda Pudin heboh, ia mau uang itu sebagai uang muka kredit motor. Uda Pudin mau ikut ngojek saja lagi. Ia sudah malas kerja mengampo daun Gambir. Begitu katanya.” Berpulun sesengguk sebak penjelasan itu tumpah dari bibir Maryam. Bainar terhening mencerna pangkal bala itu. Kini jelas sudah awal manggoknya Pudin. Bainar menarik nafas, mendaur-ulang pikiran.

“Sudah ada Pudin menjatuhkan talak?” Tanya Bainar dengan nada rendah.

Maryam menggeleng. Agak lega pikiran Bainar menerimanya.

“Kau mau menjemputnya?”

Maryam terdiam. Kemudian ada anggukkan.

“Tapi..., Mar belum Punya uang..”

“Untuk membuat panggang ayam?” Potong Bainar. Dikeruk uang dari balik pinggangnya. Dua lembar uang Soekarno-Hatta diangsurkan kepada Maryam.

“Ambillah, buat panggang ayam itu. Besok siang kutunggu kau di rumah. Bawa anakmu.”
* * *
Sudah hari ke enam. Pudin tersandar di kursi lepau Uwo Ijah. Matanya terus mengintip dari sela-sela jeruji bambu dinding lepau, ke arah Rumah Gadangnya.

“Enam hari. Adakah kemungkinan makan panggang ayam kita, Din?” Munap, kawan sebaya Pudin, dalam sibuknya menyusun kartu ceki masih sempat membaca gelagat Pudin. Ia, agaknya tahu Pudin sedang manggok.

“Kalau belum juga, kasih talak satu, Din” Yuang Alua ikut menyela. Telinga Pudin merah mendengar ucapan itu. Ia berdiam menahan olok-olokan.

“Kalau tak datang panggang ayam hari ini, jelaslah, tak cinta lagi Maryam pada kau.” Wan Teleng pun tak ketinggalan memperolok. Urat darah Pudin seakan menjelma sumbu bom yang hendak meledak. Namun ia tidak sedang menghiraukan olok-olok kawan-kawannya itu. Dari kisi-kisi bambu itu, konsentrasi matanya menatap jauh keluar, ke arah halaman Rumah Gadangnya. Sesosok bayangan anak menghentikan nyala api di sumbu amarahnya. Dalam bola mata Pudin, seorang anak kecil berlarian dengan girang, terus terlihat jelas, mendekat ke lepau. Sadiya anaknya. Pudin melepaskan nafas membuang sisa berangnya.

Sadiya, anak Pudin berdiri di pintu lepau. Matanya menyisir mencari Pudin.

“Ayah!” Suaranya menggebrak perhatian seisi lepau. Semua mata tertuju pada gadis lucu itu.

“Ayah, ayo pulang. Ibu di Rumah Gadang.” Putri lincah itu berlarian ke pangkuan Pudin. Jantung Pudin luluh mendengar ucapan Sadiya.

“Sadiya, coba jawab pertanyaan Uwan, jujur ya, nanti Uwan kasih kue,” Munap berdiri mengambil kue Lapek di meja, menyodorkan ke pelupuk mata bocah itu, “Apa ada ibumu membawa ayam panggang ke Rumah Gadang?”

Sadiya tidak bersuara. Tatapan Pudin nanar, masuk ke dalam mata gadis mungil itu. Entah sebab apa, ia pun terseret rusuh dengan gedebar di jantung, menunggu angguk atau geleng yang muncul dari kepala bocah itu.



Sarilamak, 2009

Dipublikasi pertama kali di Harian Padang Ekspres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar