Esai Mantagi
Kebenaran Dan Keadilan Di Negara Hukum Kita
Oleh: Ilham Yusardi
Kebenaran yang Benar (dengan B besar) sedang tidak tampak oleh sebahagian kita (manusia), yang ada dan tampak hanyalah kebenaran yang ‘dibenar-benarkan’—katakanlah sebuah konsensus atas pihak-pihak yang bersangkutan. Dan, yang keadilan yang Adil (dengan A besar) sedang tidak ada dalam timbangan sebahagian kita (manusia), yang ada hanyalah keadilan yang ‘diadil-adilkan’—katakanlah sebuah konsensus atas pihak-pihak yang sedang mencari rasa adil.
Barangkali itulah yang tersedia dalam ranah hukum negara kita hari ini. Ranah yang semestinya berdiri tegak dan tegas menjujung tinggi Kebenaran dan Keadilan. Lembaga-lembaga hukum kita saling berebut hendak mengatakan kebenaran yang mereka temukan. Ironisnya, Lembaga-lembaga hukum kita menyuarakan kebenarannya dengan saling sumpah, saling caci maki, saling sikut, saling curiga, bahkan saling intervensi. Tapi, kebenaran yang diajukan masing-masing lembaga hukum kita ini justru kian mengaburkan pandangan kita. Kusut.
Yakinlah, Kebenaran yang Benar (dengan B besar), tidak butuh bantuan kita untuk tegak. Kebenaran yang Benar akan senantiasa berdiri sendiri, Abadi. Ia ada dalam Kalbu illahi, Nurani kita. Sebetulnya Ia sudah ada dalam diri kita begitu kita lahir. Ingat, bagaimana nabi Isa a.s. mengatakan Kebenaran yang Sebenarnya, tentang hal ihwal kelahiran dirinya dan ibunya, Maryam, ketika ia dilahirkan. Kebenaran yang disampaikan Isa a.s. adalah Kebenaran yang sudah ada sebelum Ia dilahirkan. Kebenaran yang langsung dari Allah. Percayalah, kita juga diberi Kebenaran serupa Isa. Sayang, berbagai kepentingan duniawi memaksa sebahagian kita untuk membungkamnya dalam hati keruh. Sedangkan kebenaran yang kita ungkapkan adalah kebenaran yang ternoda berbagai kepentingan.
Serangkai, taut bertaut dalam ranah hukum, begitu pula dengan keadilan. Keadilan yang Adil (dengan A besar), yang tidak memihak, yang tidak sewenang-wenang, yang adiluhung hanya akan ada bila Kebenaran yang Benar itu terungkap. Namun keadilan yang ada di negara hukum kita ini hanyalah keadilan yang dikondisikan. Itu diakui oleh pejabat dan petinggi penegak hukum kita, yang pada suatu kesempatan baru-baru ini mengatakan, “Harus diakui hukum formal kita terbatas. Terkadang tidak bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat banyak”.
Kenapa bisa begitu? Karena hukum formal kita butuh prosedur, butuh bukti-bukti, butuh saksi-saksi yang kongkrit. Namun galibnya, bukti-bukti, saksi-saksi dalam hukum formal kita hari ini bisa dibuat-buat, ditambah-kurangi, diangguk-gelengkan, karena ada begitu banyak kepentingan dunia meraka yang saling-silang, bersengkarut.
Jika kita memang beriman pada Allah semata, berpedoman pada Alquran, tentu tidak akan ada masalah sekusut ini. Tentang kewajiban berlaku adil dan jujur tersurat alquran: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Maidah : 8). Kemudian keharusan berlaku jujur dalam bersaksi dijelaskan lagi dalam Kitab kita: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (Annisa: 135).
Tapi sayang seribu kali sayang, kebenaran dan keadilan di negara hukum kita bak bola karet yang sedang disepak kesana-kemari oleh pemain, menyusur tanah atau melambung tinggi, di tengah lapangan bola, saat masa injury time pertandingan final yang menegangkan; diperebutkan tapi tak boleh masuk membobol gawang sendiri.
Atau barangkali, kebenaran dan keadilan di negara hukum kita memang hanya sebatas kesepakatan kata atau permufakatan bersama antar pihak-pihak yang terkait, katakanlah sebuah konsensus. Konsensus, ‘anak ajaib’ demokrasi. Wallahualam.
Diterbitkan pertama kali di Harian Singgalang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar