Kamis, 03 Februari 2011

Lampu Merah Menyala Di Senyum Ibu


cerpen
Ilham yusardi

Penundaan keberangkatan. Aku langsung hilang mood, begitu tahu delay keberangkatan untuk pesawat yang akan kutumpangi.  Dari pukul tiga siang ini menjadi pukul lima nanti. Tidak ada alasan yang jelas. Cuma terdengar siur berita dari orang-orang di sekitaran ruang tunggu, pengunduran karena ada kesalahan teknis. Alamak! Aku sudah capek-capek, buru-buru, pukul dua tadi sudah datang di bandara besar ini.
Meskipun demikian, pengunduran ini pun bukan masalah yang pelik buat aku. Toh, saat ini aku sudah di ruang tunggu bandara, di kantong ada selembar tiket. Aku hanya butuh sedikit kesabaran untuk hal yang lebih penting. Nanti, kalau sudah di atas udara aku bisa tidur pulas barang dua jam. Dan di Bandara Internasional Minangkabau, tentunya Wardi, sepupuku sudah sedia menunggu. Dan begitu tiba di rumah, tentu hal yang paling menyenangkan, mencium tangan ibu dan mengutarakan hasratku kepada ibu.
Setengah jam berlepasan, setengah bungkus rokok sudah jadi puntung. Orang-orang berwajah setengah menggerutu sileweran di sekitarku. Anak-anak kecil bermain tanpa hirau dengan kemusut kening ibu-bapaknya. Namun itu tidak pula menggaduh pikiranku. Alangkah lebih menariknya bermain dengan pikiran sendiri, mencoba menyusun kata-kata terbaik untuk mengungkapkan hasratku kepada ibu nanti. Kata-kata seperti apakah yang bisa melunakkan hati ibu?
Aku baru saja tersadar, sedari tadi duduk disini, ternyata ada seseorang yang sedang  mengarahkan isyarat ketertarikan denganku. Seorang ibu paruh baya, sepantasan ibuku, berada berhadap-hadapan, di kursi seberang dari tempatku duduk. Ia menatap dalam. Tajam. Hingga menusuk pikiranku dengan cepat. Tiada pula kusadari, entah telah berapa lama ibu itu menatapku terus-menerus. Mungkin sudah seperempat jam yang liwat. Ia menatap dengan penuh sungguh. Tiada terganggu dengan orang-orang yang berlintasan hilir-mudik di depannya. Beberapa kali matanya menumbuk mataku ini. Serr! Ada aliran yang aneh begeletaran di hatiku. Bertengkar dengan pikiran sendiri, ganjil-lucu rasanya.
Ibu itu tersenyum padaku. Senyumnya berwarna merah lada. Bibirnya yang tebal. Lebar. Lama ditahannya. Senyum itu, berisyarat agar aku berkenan membalsanya. Tapi, aku sendiri juga sanksi. Apa benar ibu itu mengaturkan senyum buatku? Atau ada orang lain yang sedang ia sapa? Tapi, kenapa pula aku geer sendiri? Aku tidak menanggapi senyum itu. Kucoba alihkan pandangan, berupaya lepas dari tatapannya. Aku coba alihkan pandangan pada seliweran orang di depanku, pada iklan-iklan maskapai yang terpampang di tiang-tiang koridor, bahkan mencoba buang jauh pandangan keluar, ke landasan pacu, melihat pesawat yang sedang lepas landas atau mendarat. Tapi ajaib, aku serasa dalam gelombang elektro magnetik yang sangat kuat memancarr dari tatapan dan senyum ibu itu. Ibu tidak beranjak dari tempat duduknya.
Aku terseret lebih jauh kedalam gelombang itu. Hingga muncul pertanyaan sendiri. Begini, kalau memang ibu itu sedang memperhatikan aku, berarti ada sesuatu hal pada diriku yang menautkan dengan pikirannya. Tapi buat apa pula aku dipikirkannya? Toh, kami tidak saling kenal-mengenal sama sekali. Aku yakin ia pun tidak mengenalku. Mungkin saja ibu itu lagi salah orang. Bisa jadi wajahku mirip dengan seseorang yang kenal dekat dengannya? Ahh, entahlah...
***
Hhhah! Pukul lima. Akhirnya berangkat juga. Aku  telusuri kabin. Suasana jadi ribut begitu diumumkan agar penumpang tujuan Padang dipersilakan naik pesawat. orang-orang berebut tidak sabar. Begitulah sejak ongkos naik kapal terbang menjadi murah. Sekarang orang sudah naik pesawat untuk berpergian jauh. Dahulu, orang-orang kampungku berangkat ke Jakarta dengan Bus Malam. Kelas eksekutif, itu sudah luar biasa hebat. Apalagi naik kapal terbang. Jumawa rasanya bisa naik kapal terbang. Tapi sekarang naik kapal terbang sudah jadi biasa saja. Apalagi naik kelas ringan, kelas ekonomi dari maskapai yang jor-joran dengan harga. Harga tiketnya mampu dibayar oleh pedagang kaki lima kelas gerobak sekalipun. Rasa naik pesawat dari Jakarta ke Padang tidak lebih dari serasa naik angkot di kampungku saja. Ribut.
 Aku berhenti di tengah kabin yang sudah sibuk dengan ocehan orang-orang yang saling kenal, saling sapa. Aku perhatikan, tidak ada kenalan kali ini. Di depanku nomor kursi 33. Kuperiksa tiket lagi. Cocok. Lega rasanya menghenyakkan badan pada kursi yang lumayan tebal busa joknya. Lepas jugalah penat menunggu dua jam.
Sebetulnya aku sangat ingin duduk kursi sebelahnya. Ditepi. Hingga tersandar pada dinding dan bisa melihat negeri awan dari jendela. Sudah menjadi kesenangan bagiku kalau berjalan jauh naik bus atau kereta api. Aku jadi mengenang, dahulu aku selalu minta duduk di sisi tepi pada ibu. Hobiku melihat tempat-tempat yang dilewati dari jendela. Sayang, kali ini aku tidak mendapatkannya.
“Kamu boleh duduk disitu. Saya yang di sini” Telingaku menangkap ujuran itu dari samping. Sontak mataku coba mendapatkan asal suara. Seseorang telah berdiri di sampingku. Aliran darah dalam nadiku seakan berbalik arah, seakan dipompa dari ubun-ubun dengan tekanan besar. Apakah ibu yang di ruang tunggu tadi dengan sengaja menguntitku sampai ke sini. Kali ini senyum ringkas penuh enigma itu tepat di hidungku, tak lebih dari sejangkau tangan. Anehnya ibu itu bercakap seakan sudah begitu karibnya ia padaku. Kembali ganjil pikiranku
“Ibu, ibu di kursi tiga empat” Ah, kalimatku tersendat. Aku sendiri tidak paham. Barusan aku sedang bertanya atau menjelaskan? Ibu itu melihat tiketnya. Ia memegang tiket bernomor 34.
“Kau saja yang disitu. Bandel!” Aku mendapat ujung kata yang makin mengganjilkan: bandel. Tanpa pikir dua kali aku pindah ke kursi tepi. Begitu duduk di kursi 34, aku tak menoleh lagi ke ibu itu. Ia pun duduk dikursi 33. Mengamit tas kecil di pangkuannya. Untuk mengucapkan terimakasih pun aku tidak sempat. Tidak sempat atau tidak sanggup bersibuah saja di kepala ini. Aku percaya, kalau berusaha tidak terikat dengan tatapannya mungkin jalan terbaik membuang keganjilan ini.  
Tapi usaha tak acuhku pada ibu ini malah menyerang balik. Pikiranku jadi terkunci pada keanehan yang sedari tadi dan masih berlangsung. Seandainya tadi aku menyiapkan obat tidur, mungkin akan kutelan sepuluh biji sekaligus. Biar selesai pikiran-pikiran yang tidak karauan lagi ini.
 Setelah beberapa menit di udara, aku tidur ayam saja. Habis, ibu ini terus muncul dalam benakku. Biar tidak tertanggu dan menggangunya, aku tidur dengan memiringkan tubuh pada sisi yang berbeda dari tempatnya duduk. Sungguh, tidak benar-benar bisa tidur. Kepala seakan membalon dan terus membesar, memuat wajah tersenyum ibu ini. Senyum itu. Lebar. Tapi aku pikir ia seorang ibu yang baik pada anak-anaknya.
“Durhaka! Mau kawin tak bilang”
Dengan jelas kudengar ucapan itu. Ah, barang kali ia sedang bicara dengan seseorang di samping kanannya. Tapi disamping kanannya bukankah gang kecil yang memisahkan kursi deratan kiri dengan deratan kanan? Berarti ucapan itu tertuju padaku. Lho! Kok dia tahu apa-apa yang ada dalam benakku dalam perjalanan pulang ini? Dengan gugu kubuka mata. Ya, Tuhan! Dia tersenyum ke arahku. Bibir warna merah lada. Lebar. Persis seperti pertama kali di  koridor bandara tadi. Menghujamku dengan tatapan dalam. Aku seperti terlipat-lipat, tubuhku menciut seribu kali, terbenam kedalam kursi. Tapi kepalaku terus membesar, memuat kenyataan dan pertanyaan yang bercampur aduk.  
“Bu...” Sapaku mengurai kekeluan lidah. Aku seperti seorang anak kecil yang ketahuan berlaku tidak sopan. Kucoba mencairkan kekakuanku dengan membalas senyuman ibu itu.
“Sudah saya katakan. Carilah perempuan urang awak[1]. Dasar Malin Kundang”
Ibu itu mengoceh. Tapi entah pada siapa? Tidak ada orang di sampingnya selain aku. Apakah benar ucapan itu tertuju pada aku? Tapi, kok bisa?
“Mau terbang jauh? Alaaah, sejauh bangau terbang balik ke kubangan jua!”
Ocehan ibu itu semakin banyak dan berani. Aku tidak berani menanggapi, atau sekedar merespon saja. Kalau ibu ini bicara tanpa tujuan yang jelas, berarti ada keanehan di situ. Apakah ibu ini mengidap sejenis kelainan jiwa. Aku juga punya teman semasa kuliah dulu yang punya kebiasan selftalk, bicara sendiri tanpa ada lawan bicara. Semacam stress ringan. Steng-gil—maksudnya setengah gila, istilah kami menyebutnya. Sebab menurut ilmu jiwa moderen, orang-orang seperti ini bukan gila yang parah. Ia masih bisa berpikir normal. Tapi bicara sendiri jadi kebiasan yang aneh bagi yang melihatnya. Orang kampungku menyebut kelainan lakuan semacam ini snewen. Orang bisa menceracau kapan saja, di mana saja.
“Percuma punya anak. Anak peluru semua. Selalu sok ingin lepas dari orang tua. Padahal tidak. Belum apa-apa sudah perempuan yang dipintanya. Durhaka!” Ucapan ibu ini semakin mencikaraui kepalaku. Aku terdesak dengan ujuran-ujaran yang tidak jelas pada siapa yang sedang dimaksudnya. Tapi berkali-kali kena tembak tepat di hulu hatiku. Berkali-kali agar tidak tertanggapi, sesudah ia bicara aku terpaksa menarik nafas dalam.  Aku ambil botol air mineral dari saku jaket. Meminum seteguk, menyiram hulu hatiu yang serasa didiang bara. Tapi aku yakin, bahwa ceracauan ibu ini bukanlah untukku. Untung saja itu bukan ibuku. Sebagai seorang anak dari seorang perempuan yang seangkatan dengan ibu, aku coba menghormatinya. Tapi ceracuan semakin banyak dengan kalimat yang berulang-ulang diucapkannya. Kalau jendela pesawat ini bisa dibuka layaknya jendela bus kota, rasanya aku mau terjun saja. Lama-lama kok aku jadi tersudut sendiri mendengar ucapan ibu ini? Huhh..!
“Kalau dengan perempuan luar, bakal tidak punya Rumah Gadang[2] anak-anakmu, tidak berpandam kuburan[3] yang jelas. Tidak jelas tali perut[4] anak-anakmu. Terserak kau nanti kalau sudah tua. Malin Kundang!”
“Astaga.” Aku bangkit dari kursi, melangkah ke toilet yang ada di bagian belakang kabin pesawat. Aku coba memangkas adrenalin yang menegang oleh tohokkan kata-kata yang berhamburan dari mulut perempuan ini.
Di toilet, bukannya buang air kecil. Aku hanya mengusap muka dengan sapu tangan. Aku merasa lebih nyaman di sini.
***
“Assalamualaikum...!” Aku buka pagar rumah begitu turun dari motor Wardi. Ibuku sudah berdiri di beranda. Serr! Denyut itu lagi-lagi menyergap. Ibu tersenyum, dengan gincu yang berwarna merah lada. Tebal juga lebar. Serasa masih senyum perempuan di pesawat tadi. kenapa ada irama yang sama. Tapi kekuatan lain yang menenangkanku. Senyum ibu adalah senyum kerinduan yang lepas begitu melihatku. Anak kandungnya, semata wayang.
”Kusut raut mukamu. Letih sekali sepertinya kau, Wimo?”
“Ya, Bu. Kelamaan menunggu. Berangkatnya tertunda” Apakah terlalu mudah ibu membaca air mukaku?
“Ya, sudahlah.  Sekarang mandilah dulu. Biar segar, sudah ibu siapkan air hangat kuku. Habis itu kita makan bersama ya”
“Ibu belum makan?”
“Belum. Nunggu kamu. Ibu sudah buatkan kau gulai ikan Pangek Padeh. Tadi kusuruh Wardi menangkap ikan di kolam”
Aku terkesima. Tak ada yang berubah dari ibu soal memanjakanku. Ibulah yang selalu menegakkan kepalaku kalau lagi lelah melangkahi liku hidup. Ibu pula yang keras menyuruhku sekolah tinggi-tingi. Meski hanya uang dari pensiuanan almarhum ayahku, meski jauh dari halaman rumah, jauh dari pelupuk mata ibu.
Tapi, yang menjadi tanya bagiku: Adakah ibu mau mendengar dan menerima hajatanku? Apakah memberi restu padaku untuk menikah dengan Cyntia? Teman sekantorku, perempuan  yang bukan urang awak, perempuan yang sudah kupacari setahun belakangan ini? Entahlah. Aku selalu tidak berhasil menebak jalan pikiran ibu.
***
‘Durhaka! Mau kawin tak bilang.’
‘Bukan begitu, Bu. Aku...,aku tidak sempat.’
‘Sudah kukatakan. Carilah perempuan urang awak. Dasar Malin Kundang’
‘Apa bedanya perempuan urang awak atau tidaknya. Perempuan yang kupilih juga baik. Perempuan yang seseuai dengan kriteria yang aku idamkan. Cantik, cerdas, penuh kasih, sabar. Aku sudah menetapkan pilihan. Aku berharap Iibu tidak menolak.’
‘Mau terbang jauh? Alah, sejauh bangau terbang balik ke kubangan jua.’
‘Bukan begitu, Bu. Aku tidak akan jauh-jauh dari Ibu. Lagi pula tak ada yang disebut jauh hari ini. Jarak sudah bisa dipintas. Waktu bukanlah halangan. Kalau aku jauh dari mata ibu, hati ini akan dekat selalu.’
‘Percuma punya anak. Anak peluru. Selalu sok ingin lepas dari orang tua. Padahal tidak. Belum apa-apa sudah perempuan yang dipintanya. Durhaka!’
‘Yakinlah, Bu. Tiada perempuan lain yang bisa menggantikan posisi Ibu dalam diriku. Ibu. Yang mengalirkan darah dagingku. Dia menempati posisi lain dalam hidupku. Sebagai isteri.’
‘Kalau dengan perempuan luar, bakal tidak berumah gadang anak-anakmu, tidak berpandam kuburan yang jelas. Tidak jelas tali paruik anak-anakmu. Terserak nanti kalau sudah tua. Malin Kundang!’
‘Tatanan itu, tatanan itu lagi. Tidak ada dalam syarak’
‘Tidak. Tidak bisa! Kau tak menghormati adat!’
...

“Ibuuuuuuuu!”
“Erwin. Kamu bermimpi? Mimpi burukkah? Mengucaplah!”
Ibu masuk seraya menyalakan lampu kamar. Mataku silau perih tertimpa cahaya neon.  Ibu menyodorkan segelas air putih. Aku lihat ibu tersenyum. Aihh.., senyum perempuan di pesawat itu. Aku semakin gugup dengan senyum ibu. Sekujur tubuhku berpeluh dingin, seakan ada yang meletakkan sebongkah es batu di kudukku.
***
Kepalaku pagi ini seakan dirambati tumbuhan semak. Berpilin-pilin, dengan cepat akarnya menjalar menghisap sum-sum tulang aku. Aih, mengapa pula wajah ibuku, wajah perempuan di pesawat itu jadi baur. Kenapa pula aku yang bersitegang dalam mimpi semalam? semuanya bersibuah, bertumpang-tindih dalam mimpi. Kan cuma mimpi. Tapi, kalau cuma mimpi, kenapa pula pikiran ini justru membuatku tidak sanggup untuk bersitatap dengan ibu? Rasa kecut surut ini terus beranak pinak.
“Wimo, mandilah dulu. Bangun pagi tidak baik bermenung,” ibu keluar dari dapur dengan secangkir teh hangat, diulurkan ke hadapanku aku. Kemudian melanjutkan kalimatnya yang tergantung, “Ibu mau ke Koto Tinggi sebentar. Ke rumah mamakmu. Mudah-mudahan ada Leni, anak mamakmu itu. Kalau ada, nanti kuajak Leni kemari, ya? Dia sudah tamat pula sekolah, sudah jadi gadis rancak[5] sekarang. Sudah elok pula jadi induk beras[6] buatmu.
Ibu tersenyum. Senyum yang kian ganjil. Astaga! Senyum ibu berwarna merah lada. Lebar. Aku seakan melihat ada lampu merah yang sedang menyala.
dipublikasikan pertama kali di Harian Haluan Minggu, 23 Januari 2011

[1] Panggilan untuk sesama orang Minang.
[2] Rumah adat, tempat tinggal keluarga sekaum di Minang.
[3] Pemakama keluarga sekaum
[4] Garis keturunan.
[5] Cantik (minang)
[6] Istri; ibu rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar