Jumat, 04 Februari 2011

Epilog I


pelaminan 

inilah dunia, tempat aku, dan kau, terbayangkan bertemu
kau mengucap akad, aku mengirim salam

kau menangis, bukan lagi sebab aku
manik manik tergerai, berhambur dari matamu
aih, wajahmu bertumbuhan di sulaman emas, di tabir dinding
memercak siluetmu lepaskan sunting, melepas kepedihanmu

hendak kutinggikan dagumu, anak dara:
tataplah mataku, sejenak biar kugiring kau
ke negeri yang pernah kau kuundang.
menyelinapku ke dunia esok dalam matamu. di situ, masih awan dulu, yang menyucut lamunku, bergumpal-gumpal, masih bergiring ke arah bukit
“biarlah, lepaslah anak dara, biarkan jadi hujan dalam diriku”

kuhitung langkah ke pintu usai kaubaca seluruh hikayat diri ini.
sepucuk sirih di rakungmu, menyirah bibir, sesirah luka yang hidup di ingatanku
           
negeri di dinding pelaminan, di situ, aku, kau terbayangkan bertemu
kupendam kisah itu, sua demi sua kita yang tak pernah ada kata
(sebab  diam pun  menyusun cerita)
Aih, ruang ini menjelma negeri dengan awan dari matamu,
            “seekor kupu-kupu kuda bertamu di bilikmu” pekik seorang sumandanmu.   

malam malam seusai alekmu, berulang-ulang anak dendang, dari balai ke balai hingga larut hari rintihkan hikayat kita

sungguh, tak terbayangkan kau tulis cerita itu di sampul undangan

Painan-Padang
1427

Tidak ada komentar:

Posting Komentar