maka, aku berlayar kepulau-pulau lengang, selat-selat yang menghulu haluan kapal
amboi, di manatah wajahmu dara. aku hanya mengingat jejak tarianmu di ujung semenanjung.
kini di situ pulalah kaki terbenam, menjadi seorang kuli pelabuhan.
orang-orang bongkar turunkan impian dari selatan,
mengapalkan goni lada, kopi dan secebis hikayat-hikayat.
mengapalkan goni lada, kopi dan secebis hikayat-hikayat.
tanah ini, berabad-abad dipenuhi sejarah kebabilan.
seribu punggawa telah memotret dirinya di mega yang pasi.
aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi,
anbiya-anbiya yang mengunus tinggi nama tuhan
aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi,
anbiya-anbiya yang mengunus tinggi nama tuhan
: tapi tak jua kudapati sedikit jejak rambutmu yang merbak pala di pesisir ini.
pada malam-malam yang diam, orang-orang tidur dalam hikayat ksatria
: mereka telah menjelma Hang Tuah, Hang Jebat, beradu keris acungkan kebenaran,
saat itu pulalah kubayangkan kau terduduk haru di satu sudut polis,
mengemis sejumput kasih lewat pasi dinding dingin, dengan wajah diranum garis.
sedang pun, di pertigaan simpang lain, orang-orang lengkingkan stanza
dengan muncung aroma anggur tua.
”tanah ini, tanah ini harum humusnya mengirim rindu pada negeri seberang.
teruslah...,teruslah tulis hikayat kalian dengan ujung pedang”
tapi kaki merindu ayun, hendak langkah jua menemu tanah yang lain.
maka, kususuri sungai, hingga kehulu. kucari para lanun di tanah perca,
beradu niaga, bertaruh peruntungan. Aih..., apatah ini yang disebut nasib?
berkali doaku patah,
diujung
sujud.
1428-1430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar