Senin, 07 Februari 2011

SITTY NOERBAJA (EPISODE LEPAS DARI BUMI)


SITTY NOERBAJA (EPISODE LEPAS DARI BUMI)

SITTY NOERBAJA
(EPISODE LEPAS DARI BUMI)
OLEH ILHAM YUSARDI
PEMAIN
Seorang perempuan muda, berperan sebagai SITTY NOERBAJA
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai SAMSUL BAHRI
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai BAKHTIAR
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai ARIFIN
Seorang laki-laki paruh baya, berperan sebagai AYAH
Seorang laki-laki tua, berperan sebagai DATUK MARINGGIH
Seorang laki-laki, berperan sebagai PENDEKAR LIMA
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG PALSU ( SURUHAN DATUK )
Beberapa orang SISWA.
I.
PENTAS MENGGAMBARKAN SESUDUT JALAN ATAU HALTE TEMPAT ANAK-ANAK SEKOLAH MENUNGGU JEMPUTAN ATAU ANGKUTAN UMUM. DI SITU MANGKAL SEORANG PEDAGANG GEROBAK YANG MENJUAL MAKANAN DAN MINUMAN RINGAN. DI SEBELAH KIRI TERDAPAT SEBUAH RAMBU-RAMBU YANG MENUNJUKAN TEMPAT PERHENTIAN BUS.
SITTY, SAMSULBAHRI, BAKHTIAR DAN ARIFIN MASUK. MEREKA BERCENGKRAMA SEPERTI ADAYANG DIPERDEBATKAN.
BAKHTIAR :
Yang namanya hidup di dunia tentu harus dengan akal, pandai-pandai. Kalau hidup di akhirat baru mesti dengan iman.
SITTY :
Tapi, melihat jimat saat ujian tadi kamu bilang pandai, Bakhtiar ? Bukankah itu cara yang licik.
ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Yang dilakukan Bakhtiar diwaktu ujian tadi namanya ‘licik pandai’, bukan cerdik pandai.
BAKHTIAR :
Aah, hei. Untuk hasil maksimal dibutuhkan usaha yang maksimal. Betulkan Samsul ?
SAMSUL :
Kata-kata itu benar. Kamunya yang tidak benar. Usaha maksimal bukannya menghalalkan segala cara. Ingat, alam terkembang jadikan guru. Bisa-bisa berubah pepatah itu, jimat terkembang otak membeku.
SEMUA TERTAWA MENDENGARNYA
PEDAGANG :
Oi ! onde-onde, onde-onde mande. Tertawa sambil makan onde-onde pasti lebih asyik.
( SITTY MEMERIKSA SAKUNYA )
SITTY :
Ujian tadi baru tahap percobaan. Apakah kamu bisa melihat jimat saat ujian akhir yang sebenarnya, Bakhtiar ?
ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Resiko untuk melakukan kecurangan di ujian akhir sangat besar. Melihat kiri-kanan saja mungkin dicurigai. Bertanya tetangga ?, sesekali jangan. Nah, apalagi lihat jimat, kertas kecil apapun jenisnya pasti akan gagal.
SAMSUL :
Barangkali Bakhtiar siap dengan resiko, didiskualifikasi.
ARIFIN :
Nah…, dari pada kepala pusing. Menurut pendapat saya. Lebih baik begini. Pertanyaan yang tidak terjawab oleh kita, gunakan pilihan bantuan. Pertama, ask the audience, kode tetangga-tetangga sebelah. Kalau dicurigai, urungkan niat. Kedua, phone a friends, siapkan kertas kecil untuk sms-sms-an,” bantu saya nomor sekian”. Lemparkan pada kawan yang mungkin tahu jawabannya. Tidak bisa juga ! Baru gunakan fifty-fifty.
BAKHTIAR :
Fifty-fifty bagaimana ?
ARIFIN :
Tentukan dua pilihan jawaban yang menurut kamu paling berkemungkinan benar. Dari dua jawaban tersebut, pilih satu saja dengan cara menimbang ( MENIRUKAN DENGAN TANGAN ). “Ma rancak iko pado iko, rancak iko”
Nah, dapatlah satu jawabannya. Untung-untung betul. Gampangkan…. ?
SAMSUL :
Alaahh…., sama juga bohong Arifin.
SITTY :
Tidak ada gunanya. Seperti kata petuah :
Jalar-menjalar akar benalu
Kuat melingkar di batang mangga
Kita belajar menuntut ilmu
Tabiat buruk tak akan berharga
ARIFIN :
Tapi bukankah fifty-fifty itu sah saja. Lain halnya dengan cara Bakhtiar yang menurut pendapat saya….
BAKHTIAR :
Sudah, sudah. Waktu seminggu itu masih panjang. Cukup untuk bersantai menenangkan pikiran. Pergi piknik, tenangkan jiwa.
SAMSUL :
Seminggu kamu bilang masih panjang ? Mana jari tanganmu ? Hitung mundur mulai detik ini. Saatnya siaga satu, kawan.
BAKHTIAR :
Jangan tegang, rileks saja. Kita tentu punya cara masing-masing sebelum bertempur. Kalau saya, butuh refreshing dulu sebelum menuju gelanggang. Kalau mau belajar kejar tayang menghafal buku-buku, silahkan coba. Bisa-bisa meledak itu kepala.
ARIFIN :
Dasar pemalas !
BAKHTIAR :
Terserah saja, sekarang lebih baik pulang. Dengar,
Batang purut di tepi pagar
Ditanam putri anak bangsawan
Kerontang perut karena lapar
Segera pulang mencari makan.
Ayo, Arifin. Kamu pulang bersama saya atau tidak ? Biarlah mereka berdua menggagas masa depan. Apakah kamu mau jadi pamong terus, jadi obat nyamuk bakarnya ? ( ARIFIN MENGIKUTI BAKHTIAR ) Samsul, Sitty, kami duluan. O, ya. Bayar onde-onde kami ini. Buat tutup mulut kami. Daaah.., selamat berindehoi !
BAKHTIAR DAN ARIFIN KELUAR SETELAH MENGAMBIL BEBERAPA ONDE-ONDE
SAMSUL :
Cerdik juga dia !
Kamu lapar, Sitty ?
SITTY :
(MENGGELENG)
SAMSUL :
Benar tidak lapar ?
SITTY :
( MENGGELENG )
SAMSUL :
Bagaimana kalau kita beli onde-onde. Sekedar pengganjal perut.
SITTY :
Mau, mau ! Boleh juga.
SAMSUL MENUJU PEDAGANG
SAMSUL :
Onde-ondenya, pak.
PEDAGANG :
Nah, begitu. Perhatikan juga nasib orang kecil seperti saya. Masa seharian saya berjualan di sini tidak ada yang beli ? Makanya dari tadi saya tawarkan onde-onde ini. Saya tahu kalau putrimu itu sangat suka onde-onde. Dia kan langganan saya.
SAMSUL :
Berapa, pak ?
PEDAGANG :
Belum seberapa, sepuluh onde-onde baru lima ribu saja. Kali ini saya kasih bonus dua buah. Buat nona Sitty.
SAMSUL :
O. Ya. Terima kasih. Bapak baik sekali. Eh, benar tidak, pak ? Kata orang, hari esok harus lebih baik dari hari ini.
PEDAGANG :
Ya, harus !
SAMSUL :
Kalau begitu besok bapak harus lebih baik. Besok, kalau saya beli onde-onde bonusnya harus lebih dari dua. Hehehe ……
PEDAGANG :
Pintar juga otakmu.
SAMSUL KEMBALI KE TEMPAT SITTY
SAMSUL :
Sitty, ini onde-ondenya. Makanlah. Bapak itu memberi bonus buat kamu.
SITTY :
O, ya. Kalau saya tadi yang beli pasti bonusnya lebih dari dua.
SITTY DAN SAMSUL DUDUK MENIKMATI ONDE-ONDE
SAMSUL :
Sitty, selepas lulus sekolah nanti, ayahku menyuruhku untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Aku sendiri setuju dengan itu. Kalau kamu bagaimana ?
SITTY :
Baguslah. Siapa yang tidak bangga bisa lanjut ke jenjang yang lebih tinggi . Ayahmu tentu telah menyiapkan semua demi kamu. Aku sendiri belum tentu, Sam. Belakangan ini ayahku sakit-sakitan. Aku tidak mungkin memaksakan keinginanku dalam kondisi seperti ini. O… rencananya kamu mau melanjutkan kemana, Sam ?
SAMSUL :
Ayahku menyarankan untuk kuliah di luar negeri.
SITTY :
Luar negeri ?!
SAMSUL :
Iya, Sitty. Tidak di sini.
SITTY :
Kenapa mesti ke luar negeri, Sam ?
SAMSUL :
Kata ayahku, sangat baik untukku nantinya. Dengan kuliah di luar negeri kita bisa mendapatkan ilmu dengan maksimal.
SITTY :
Di sini juga bisa, bukan ? Banyak perguruan tinggi yang tidak kalah kualitasnya. Dan lagi, kuliah di luar itu butuh biaya besar, Sam. Apakah ayahmu sudah memikirkannya matang-matang ?
SAMSUL :
Ah, entahlah. Selain itu sebenarnya aku belum siap untuk merantau terlalu jauh. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, dan tentu akan menjauhkan aku dari kamu Sitty.
SITTY :
Jauh tidak lagi persoalan, Sam. Selagi masih di bumi ini. Apalagi zaman sekarang ini. Jarak dan waktu bisa direkayasa dengan teknologi.
SAMSUL :
Aku tidak ingin jauh dari kamu Sitty.
Anak baginda berburu rusa
Rusa mati tertembak panah
Jika kasih jauh dimata
Rasa mati badan sebelah.
SITTY :
Burung puyuh masuk ke rimba
Di dahan jati singgah merapat
Meskipun jauh dipelupuk mata
Di dalam hati tetapkan dekat.
SAMSUL :
Ombak berdentum di hujan lebat
Sampan melaju ke pulau seberang
Hendak kemana carikan obat
Badan bertemu makanya senang.
Kalau lama tidak ke ladang
Tinggilah rumput dari padi
Kalau lama tak bisa kupandang
Rasa rindu menjadi-jadi.
SITTY :
Risau kicaunya si anak balam
Ditinggal induknya di pohon jambu
Walau tak bisa berjawat tangan
Di dalam mimpi kita bertemu.
Utara selatan jadi penjuru
Timur dan barat jadi pedoman
Jika tuan dilanda rindu
Dikerat rambut jadikan kenangan.
SAMSUL :
Tetak lontar alaskan padi
Peti dibawa dari Palembang
Bertemu sebentar bagaikan mimpi
Itu membawa hatiku bimbang
Bendi dipapah jalan berliku
Mengangkut sirih ke tengah pekan
Kaki dilangkah terasa kaku
Takut kasih berpindah tangan.
SITTY :
Anak Kediri berdagang kain
Kain disimpan dalam peti
Niat diri tidak pada yang lain
Tuan terikat di dalam hati.
Anak dara bersunting kembang
Rupanya elok serta jelita
Banyak dara di negeri orang
Tidakkah tuan bersimpang mata.
SAMSUL :
Manis-manis bukannya tebu
Manisnya manis si gula jawa
Manis tidak sekedar dari rupamu
Manis kupandang budi bahasa.
Surabaya kota pahlawan
Dikenang seluruh anak negeri
Sitty Noerbaja yang menawan
Tak akan kudapati di luar negeri.
SITTY :
Merah warnanya si bunga mawar
Putih suci bunga melati
Janji bukan untuk ditawar
Kasih hanya dilerai mati
SAMSUL :
Tanam melati di depan rumah
Ubur-ubur berdamping dua
Jikalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
SITTY :
Ubur-ubur berdamping dua
Tanam melati bersusun tangkai
Kalau mati kita berdua
Jikalau boleh bersusun bangkai.
SAMSUL :
Tanam melatai bersusun tangkai
Tanam padi satu persatu
Jikalau boleh bersusun tangkai
Daging melebur jadi satu.
TANPA DISADARI, PEDAGANG MEMPERHATIKAN PERCINTAAN SAMSUL DENGAN SITTY.
PEDAGANG :
“Allahuakbar Allahuakbar…………..!!” ( KEARAH SITTY DAN SAMSUL )
SAMSUL :
Hah ! O . Ayo kita pulang, Sitty. Sudah terlalu senja. Nanti orang di rumah marah-marah. Merantaunya masih lama. Lulus saja juga belum tentu.
SAMSUL DAN SITTY KELUAR
PEDAGANG :
Ikat berikat tali kuda
Pasang pelana kuda yang putih
Hati terikat samanya muda
Lupa waktu sebab berkasih
Minta daun diberi daun
Dalam daun buah bidara
Minta pantun diberi pantun
Dalam pantun ada cerita
PEDAGANG ITU PUN KEMUDIAN MENUTUP DAGANGANNYA. KELUAR SERAYA MEMBAWA RAMBU-RAMBU YANG TERNYATA BISA DICABUT DENGAN MUDAH.
* * *
II.
DI RUANGAN SEBUAH RUMAH SEORANG LAKI- LAKI SEPARUH BAYA DUDUK. LAKI-LAKI ITU TERBATUK-BATUK SERAYA MENGUSAP-USAP DADANYA MENAHAN SAKIT. ANAK PEREMPUANNYA DUDUK DI SEBELAH LAKI-LAKI ITU, SESEKALI MEMIJIT-MIJIT BAHUNYA.
SITTY :
Istirahatlah lagi ayah, sudah terlalu larut.
AYAH :
Tidak mudah tidur bagi ayah sekarang ini, Sitty.
Dipejam mata tak terpejam
Direbah tubuh tak jua senang perasaan.
SITTY :
Apalagi yang ayah pikirkan ? Bukankah ayah pernah bilang pada Sitty,
Tidaklah beban jadi rasian
Habis daging dihisapnya.
AYAH :
Sitty, anakku. Kamu ini seperti orang dulu bilang,
Kecil tak lagi untuk disuruh-suruh.
Besar belumlah dapat ditumpangi.
SITTY :
Ah, ayah. Kecil Sitty anak ayah, besar juga tetap anak ayah. Kalau boleh Sitty tahu, apa yang ayah pikirkan ?
AYAH :
Dipintal benang dengan gulungan
Biar berpisah pangkal dengan ujungnya
Tak kusut pula dalam genggaman.
Tapi, kali ini kamu terpegang ujung benang, Sitty.
Ayah memintal dari pangkalnya.
SITTY :
Kalaulah ujung di tangan Sitty, tentulah Sitty takkan berlepas tangan.
Ceritakanlah ayah. Dengan senang Sitty dengarkan.
AYAH :
( MENARIK NAFAS )
Berniaga ke tanah Jawa dagang emas dengan budi bahasa.
Tapi, bagaimanapun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Nasib tertoreh di telapak tangan.
Niat hendak menyekolahkanmu tinggi-tinggi, biar bertambah isi kepala.
Cita-cita membumbung langit, Tuhan dari atas jua yang menentukan.
Jerih peluh usaha niaga kita kali ini telah habis surut, Sitty. Ayah tak dapat lagi berbuat apa-apa. Sekarang, kamu juga tahu, harta ayah hanya tinggal badan sepembawaan ini. Hutang-hutang tumbuh melilit pinggang. Mencekik kerongkongan.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
AYAH :
Hutang emas dibayar emas. Hutang budi, tentulah dibawa mati.
SITTY :
Benar ayah.
AYAH :
Kemarin Datuk Maringgih datang ke sini. Tak lain untuk menagih hutang pinjaman dagang yang sudah jatuh tempo. Ayah meminta Datuk menambah jangka waktu yang diberikan. Tapi, dia menolak. Karena telah melewati batas waktu yang seharusnya. Sehingga bunganya sudah berlipat ganda. Rumah yang satu-satunya inipun hendak disitanya. Dan itupun belum juga akan menutupi hutang kita Sitty.
SITTY :
Iya, ayah. Sitty paham, ayah.
AYAH :
Panjang cerita segelas kopi, direntang masa setinggi bulan. Bersilat lidah di perbincangan, berkecamuk darah dalam dada.
Ah. Hutang kita seperti memotong rumput di tengah padang. Potong dipotong tumbuh jua. Bunganya menjulang menyentuh lutut. Tiap melangkah terjatuh pula menyentuh tanah.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
Jual gabah di tengah pekan, gabah dibawa dengan bendi.
Kalaulah susah sama kita pikirkan, nak lapang jua beban di hati.
Ayah, apa yang bisa Sitty perbuat untuk itu, Ayah.
AYAH :
( KEMBALI MENARIK NAFAS, KEMUDIAN MENGGELENGKAN KEPALA )
Daunmu terlalu hijau. Berputik sudah, berbunga belum. Harumnya belumlah melintas pagar.
SITTY :
Maksud ayah…. ?
AYAH :
Sitty, hutang emas dibayar emas ? Hutang budi dibayar budi ? Tapi, lain dengan Datuk Maringgih. Seluruh hutang kita padanya, tidak berguna pepatah demikian. Datuk ingin mempersuntingmu. Maka, lepaslah hutang yang selilit pinggang.
SITTY :
( TERKEJUT )
Dengan Sitty, ayah !? Datuk Maringgih !?
AYAH :
Itulah jalan yang ia pintaskan agar terlepas dari segala hutang.
SITTY :
Tidak, … tidakkah ada jalan lain, ayah ?
AYAH :
Kalaulah umur ayah masih panjang, dan tenaga berisi di badan. Tentu ayah tidak akan memberi tahu kamu, Sitty.
SITTY :
Tapi, … Sitty belum …
AYAH :
Sitty, Ayah paham kalau kamu belum punya timbangan yang kuat, Sitty. Timbangan yang bagus tidak berat sebelah. Berlebih semata ditentang dengan pikiran. Selepas kamu lulus sekolah nanti, Datuk Maringgih hendak menjatuhkan hari.
SITTY :
( TERDIAM LAMA SEPERTI BERPIKIR )
Ayah, bolehkah Sitty mohon diri Ayah ?
Sudah berat kelopak mata. O, ayah istirahatlah dahulu.
SITTY KELUAR MENINGGALKAN AYAHNYA.
LAMPU MENYURUT.
* * *
III.
PENTAS KEMBALI MENGGAMBARKAN SESUDUT JALAN. PEDAGANG MENUNGGU ANAK-ANAK PULANG SEKOLAH.
DATUK MARINGGIH MASUK BERSAMA PENDEKAR LIMA—ASISTEN, JUBIR SEKALIGUS PENGAWALNYA.
DATUK :
Sudah keluar anak sekolah itu ?
PEDAGANG :
O, belum Tuan. Mungkin sebentar lagi. Coba lihat arlojinya ( MENARIK TANGAN DATUK, MELIHAT ARLOJI ). Baru pukul lima lewat sedikit. Lihat, baru sedikit lewatnya. Sekolah bubar pukul setengah enam. Ya, setengahnya saja. Sebentar lagi. Sabar, sabar. Silahkan duduk dulu. Santai dulu. Dan saya punya onde-onde, enak rasanya. Silahkan dicoba. Kalau tidak percaya lihat saja nanti. Seorang gadis cantik akan memborong onde-onde ini, Sitty Noerbaja gadis….
DATUK :
Sitty Noerbaja ?!
PEDAGANG :
Tepat sekali. Gadis manis, semanis tebu, suka onde-onde. Dia bilang onde-onde lebih hebat dari makanan import manapun. Eh, apa Tuan menunggu Sitty Noerbaja ?
DATUK :
Ya. Saya menjemputnya.
PEDAGANG :
Berarti Tuan ini keluarganya Sitty, kakeknya barangkali ?
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Jangan asal bicara ya !
PEDAGANG :
Bapaknya ?
PENDEKAR LIMA :
Datuk ini bukan bapaknya.
PEDAGANG :
Jadi, pamannya begitu ?
PENDEKAR LIMA :
Huhh ! Tidak kata saya !
PEDAGANG :
Kakek bukan, bapak tidak, paman juga salah. Tapi ke sini untuk menjemput Sitty. Nah, berarti Tuan ini sopir pribadinya nona Sitty.
PENDEKAR LIMA :
Hei ! Mau kakek, kek. Mau bapak, kek. Mau paman, kek. Apa urusanmu ! Urus saja onde-ondemu itu.
PEDAGANG :
O. Oke, oke. Maafkan saya. Tidak akan saya urus lagi. Ya, bukan urusan saya. Tapi ingat, sekedar informasi. Bagi saya, Sitty berarti onde-onde, seperti onde-onde. Lembut di luarnya, manis di dalamnya. Dia ramah sekali….
DATUK :
( KEPADA PENDEKAR LIMA )
Coba kau lihat kesana. Lama sekali keluarnya. Apa yang mereka perbuat di sekolah itu. Zaman saya sekolah tidak terlalu penting. Lihat saya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk bisa hidup sejahtera. Cuma pakai akal-akalan. Kecil bahagia, muda foya-foya, tua sejahtera, mati masuk……
PENDEKAR LIMA :
Itu dia, Datuk. Menuju kesini. Anak sekolah keluar seperti kambing lepas dari kandang. Tapi, Sitty bergandengan Datuk.
DATUK :
Bergandengan ! Dengan siapa !?
PENDEKAR LIMA :
Dengan laki-laki. Mesra sekali mereka.
DATUK :
Siapa laki-laki itu ? Hah ! Samsul Bahri. Anak Sutan Mahmud. Sudah melekat-lekat pula ia dengan Sitty.
SAMSUL , SITTY, BAHKTIAR DAN ARIFIN MASUK.
SAMSUL :
Tuan Datuk Maringgih rupanya. ( MENGULURKAN TANGAN HENDAK BERSALAMAN TAPI TIDAK DIBALAS OLEH DATUK )
PENDEKAR LIMA :
Oh, bersalaman dengan Datuk harus melalui saya. Saya asisten, jubir, sekaligus pengawal pribadi Datuk. Jadi segala apapun urusan dengan Datuk harus melalui saya.
DATUK :
Selamat sore Sitty. Sedari tadi saya menunggu. Niat di hati hendak menjemputmu. Mobil sudah saya persiapkan. Mari, kita berkeliling menikmati senja yang menarik ini. Bagaimana kalau kita ke tepi laut, mencari angin segar sambil makan rujak atau jagung bakar. Setelah itu kita ke plaza mencari oleh-oleh untuk ayahmu.
SITTY :
Ah, eh. O. Mmmh … Datuk !?
DATUK :
Ayo Sitty, mari. ( MENARIK TANGAN SITTY )
SAMSUL :
Ada apa ini Datuk ?
PENDEKAR LIMA :
Bukan urusan kamu !
SAMSUL :
Ini jadi urusan saya.
PENDEKAR LIMA :
Oi, urus saja dirimu sendiri, kalau tidak mau berurusan panjang dengan saya !
SAMSUL :
Tapi jangan main … !
SITTY :
Tenang Sam. Ini urusan saya. Pulanglah dulu bersama Bachtiar dan Arifin. Saya mau bicara sebentar dengan Tuan Datuk.
SAMSUL :
Tapi, Sitty. Kamu…
SITTY :
Sam, saya mohon pengertian kamu.
PENDEKAR LIMA :
Nah, kamu dengar tidak ? Sitty menyuruhmu pergi dari sini. Tunggu apalagi, menunggu kena usir, ya ?
BACHTIAR :
Enak saja main usir. Ini tempat umum tahu.
PENDEKAR LIMA :
Kamu juga mau turut campur urusan ini, ya ? Mau tahu prosedur berurusan dengan saya ?
ARIFIN :
Op, op, op. Menurut pendapat saya lebih baik kita mengalah. Mundur. Ayo. Sitty, kami duluan. Jaga diri baik-baik.
SAMSUL, BACHTIAR DAN ARIFIN PERGI DENGAN KESAL.
SITTY :
Datuk. Apa maksud Datuk menjemput saya ?
DATUK :
Saya bermaksud baik Sitty. Mulai hari ini saya, eh, aku, akan menjemputmu. Sebagai seorang calon induk berasku, alangkah menyenangkan kita bertemu setiap saat. Biar kita merasa dekat. Bukan begitu hendaknya ?
SITTY :
Siapa yang menyuruh Datuk melakukannya ?
DATUK :
O, tidak siapa-siapa. Ini aku lakukan tulus dan murni dari hati nuraniku sendiri.
PENDEKAR LIMA :
Ah, tidak usah pakai menolak segala. Turuti sajalah. Datuk akan membuat hari-harimu bahagia.
DATUK :
Saya tidak menyuruhmu bicara !
SITTY :
Datuk. Saya tidak pernah meminta untuk dijemput, Datuk.
DATUK :
Sitty, semua sudah saya perhitungkan dengan ayahmu, Sitty. Tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
SITTY :
Tuan Datuk. Ini bukan hitungan matematik, Tuan. Sebagai seorang yang jauh lebih dewasa, tentu Tuan lebih paham dunia ini.
DATUK :
Ah, kau kan bukan lagi anak kecil yang tidak bisa menentukan langkahmu sendiri. Sudah tujuh belas tahun. Tentu kau mengerti Sitty.
SITTY :
Jalan saya masih panjang Datuk. Saya belum berpikir melangkah sejauh ini. Alangkah bagusnya Datuk mencari perempuan yang lebih dari saya. Lebih pantas, lebih pas menjalankan hidup dengan Datuk.
DATUK :
Apalagi yang kamu cari setamat sekolah ini, Sitty ? Lebih baik lakukan langkah besar. Apalagi, kamu perempuan. Bukankah perempuan itu hanya ; sumur, dapur, dan kasur.
SITTY :
Tuan. Hendaklah Tuan berpikir baik. Baik untuk Tuan, dan juga baik untuk saya.
PENDEKAR LIMA :
Ini sudah yang terbaik Datuk lakukan untuk kamu dan Ayahmu, Sitty. Apakah kamu senang melihat ayahmu sakit-sakitan memikirkan…
SITTY :
Tentang hutang Ayah saya pada Datuk, saya berharap Datuk sabar. Berilah saya kesempatan. Tunggu saya menyelesaikan sekolah saya dulu. Saya akan berusaha, bekerja mencari uang untuk membayarnya.
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Mau kerja apa kamu Sitty ? Tidak gampang mencari pekerjaan di jaman sekarang ini. Kerja di kantor ? Di Bank ? Jangan mimpi Sitty. O, barangkali kamu bisa jadi babu, buruh kasar, atau kamu jadi pekerja … pekerja seks komersil.
SITTY :
( MENAHAN AMARAH )
Saya tidak bicara demikian Tuan-tuan.
DATUK :
Pendekar Lima. Saya tidak suruh kamu bicara. Diam saja di sana.
Jadi, kamu keberatan dengan aku Sitty ?
SITTY :
Maafkan saya Tuan Datuk.
DATUK :
Saya tidak main-main Sitty.
PENDEKAR LIMA :
Tidak tahu diuntung pula kau rupanya. Ingat. Hutang ayahmu dengan Datuk sudah terlalu banyak. Mau dibayar dengan apa lagi ? Ayahmu sudah menjual seluruh perusahaan dagangnya. Untuk bunganya saja itu pun belum cukup. Ayahmu sudah mulai bicara sendiri memikirkannya. Lebih baik kau bayar lunas dengan …
SITTY :
Hutang emas dibayar emas, Tuan.
PENDEKAR LIMA :
Jadi kau kemanakan perbuatan baik Datuk selama ini pada ayahmu ?
SITTY :
Saya akan selalu mengingatnya. Tidak akan saya lupakan, bahwa Datuk adalah seorang yang baik. Bahkan terlalu baik.
PENDEKAR LIMA :
Nah, tunggu apa lagi ?
SITTY :
Namun, keinginan Datuk terhadap saya, apakah baik buat saya ?
PENDEKAR LIMA :
Jelas sangat baik. Niat baik Datuk tidak akan ada yang menghalangi.
SITTY :
Belum tentu, Tuan. Kalau Tuhan berkeinginan lain, tidaklah boleh mendahului yang di atas.
DATUK :
Hhh. Jangan bermain-main, apalagi mempermainkan saya. Jadi kamu menolak saya ? Saya tidak pantas untuk kamu, begitu ? Lalu, siapa yang pantas ?
PENDEKAR LIMA :
Samsul Bahri tentu telah mempengaruhi otaknya.
SITTY :
Tidak baik menyangkut – pautkan persoalan ini dengan orang lain, Tuan. Samsul tidak tahu apa-apa dengan masalah ini.
PENDEKAR LIMA :
Jangan bersilat lidah, Sitty. Sejak kapan kau berhubungan dengan dia ? Sudah sejauh mana ? Jangan-jangan kau telah melakukan……
SITTY :
Cukup Tuan. Persoalan ini hanya antara keluarga saya dengan tuan Datuk.
DATUK :
Baik, baik. Sitty ! Silahkan kamu berpikir baik-baik sekarang. Baik untuk kamu serta ayahmu. Terserah ! Saya tunggu keputusanmu.
SITTY :
Sekali lagi, saya mohon maaf dan berharap Tuan mengerti. Maafkan atas kelancangan saya. Saya mohon diri dulu, Tuan. Saya pulang.
SITTY KELUAR
PENDEKAR LIMA :
Keras kepala juga dia !
DATUK :
Keras hati, pendekar.
PENDEKAR LIMA :
Keras hatinya pada Samsul Bahri.
DATUK :
Mmmh. Hehehe … Samsul Bahri !? Tampaknya dia akan menjadi batu sandungan bagi langkah saya. Tapi dia bukan masalah yang besar. Pendekar, ke sini !
( MEMBISIKAN SESUATU. PENDEKAR MENGANGGUK-ANGGUK )
PENDEKAR LIMA :
Ide yang usul. Tapi…
DATUK :
Tapi bagaimana ?
PENDEKAR LIMA :
Begini Datuk, apakah setelah ini dilakukan Sitty akan mau dengan Datuk ? Tentu dia akan tambah sulit didekati. Lebih baik langsung Sitty saja, Datuk.
DATUK :
Kamu gila ya ! Tujuan saya itu jelas-jelas Sitty. Kenapa Sitty pula yang dijadikan sasaran. Goblok ! Sekarang gunakan otakmu, bagaimana caranya.
PENDEKAR LIMA :
O. Baik. Begini ( BEBICARA PELAN DENGAN DATUK, SESEKALI MENUNJUK KE ARAH PEDAGANG )
DATUK :
Bagus, bagus. Sekarang gunakan bibirmu itu kesana.
PENDEKAR LIMA MENDEKATI PEDAGANG.
PEDAGANG :
Eh, Tuan. Kelihatan serius sekali pembicaraan tuan-tuan dengan Nona Sitty. Sehingga Ia tidak sempat menikmati onde-onde saya. Rejeki saya jadi hilang begitu saja.
PENDEKAR LIMA :
Ah, biasalah. Kami ini memiliki sebuah Production House yang sedang menggarap sebuah film baru. Pembicaraan tadi itu, kami menawarkan sebuah peran pada Sitty Noerbaja. Tapi dia masih ragu. Pikir-pikir dulu katanya ( MEMAKAN SEBUAH ONDE-ONDE ) Mmmh..onde-ondenya enak sekali.
PEDAGANG :
Tuan mengajak Sitty main film ? Dia menolaknya ?
PENDEKAR LIMA :
O, Belum. Sitty belum memutuskannya tadi.
( MEMATUT-MATUT GEROBAK PEDAGANG )
Selain dengan Sitty, sepertinya kita juga bisa berkerjasama.
PEDAGANG :
Bekerjasama ? Tuan membutuhkan saya untuk main film ?
PENDEKAR LIMA :
Ya. Kami membutuhkan gerobak Anda ini untuk setting sebuah adegan di film kami nantinya.
PEDAGANG :
Aah…, masa cuma gerobaknya saja. Sayanya tidak. Memang apa judul filmnya ?
PENDEKAR LIMA :
Mmmh. “Tidak Ada Apa-apa Dengan Cinta”.
PEDAGANG :
Lho ! Kok pakai kata ‘tidak’ ?
PENDEKAR LIMA :
Di situlah nilai jual film ini, lain dari yang lain. Film ini akan memperlihatkan bahwa tidak ada apa-apa dengan cinta. Persetan dengan yang namanya cinta. Nah, pengambilan gambar pertamanya akan dilakukan di sini. Sitty akan memainkan tokoh utamanya yang sedang menunggu kekasihnya sambil makan onde-onde.
PEDAGANG :
Makan onde-onde ? Wah, cocok sekali dengan hobinya.
PENDEKAR LIMA :
Karena itulah kami memberikan peran ini pada dia.
PEDAGANG :
Semestinya saya juga diajak, dikasih peran. Saya ini kan sudah biasa melakukan adegan yang Tuan inginkan. Sitty pasti senang dengan saya sebagai lawan mainnya.
PENDEKAR LIMA :
Sayang, wajah Anda itu tidak Kameragenik
PEDAGANG :
Apa maksudnya ?
PENDEKAR LIMA :
Wajah Anda itu tidak menarik jika dishoot dengan kamera. Itu akan merusak citra film ini di mata penonton nantinya. Jadi saya cuma pakai gerobaknya saja. Bagaimana ? Mau tidak ? Kami hargai ( MEMBERI PENJELASAN DENGAN TANGAN SAMBIL BERBISIK ).
PEDAGANG :
Ah, cuma segitu ? Biasanya seorang produser itu sangat royal. Apalagi untuk sebuah adegan penting.
PENDEKAR LIMA :
Tenang, sesudah pengambilan gambar adegan ini akan saya tambah. Dua kali lipat, bagaimana ?
PEDAGANG :
Nah, begitu. Kerjasama disepakati. Tapi…..
PENDEKAR LIMA :
( HENDAK BERBALIK KE TEMPAT DATUK ) Apa lagi !?
PEDAGANG :
Tadi kata Tuan, Nona Sitty belum memastikan dirinya untuk…….
PENDEKAR LIMA :
O. Itu bukan urusan kamu. Nanti akan kami hubungi lagi dia. Cuma persoalan nilai kontrak. Dengan nilai yang lebih tinggi, pasti Sitty tidak akan sanggup menolaknya.
( MENUJU DATUK )
DATUK :
Bagaimana, Pendekar ?
PENDEKAR LIMA :
Beres, Datuk. Semua sudah saya persiapkan
DATUK :
Bagus. Tidak percuma kau kuangkat jadi jubir, bibirmu tak kalah cepatnya dengan otakmu. Setelah Samsul dibereskan, tidak ada lagi halangan bagi saya menuju Sitty. Oh, Sitty ( SERAYA MENERAWANG ).
* * *
IV.
SEORANG PEDAGANG PALSU SURUHAN PENDEKAR LIMA TELAH SIAP DI TEMPAT ITU. IA MONDAR-MANDIR MENUNGGU ANAK-ANAK SEKOLAH KELUAR.
SITTY MASUK, HERAN MELIHAT PEDAGANG ITU.
PEDAGANG PALSU :
O. Mmh, nona pasti Sitty Noerbaja.
SITTY :
Betul. Tapi bapak ini siapa ? Biasanya kan pak Amat yang berjualan dengan gerobak ini.
PEDAGANG PALSU :
Saya ini… anu, maksud saya, saya ini saudara dari isterinya si Amat yang biasanya berjualan di sini. Berhubungan si Amatnya ada urusan ke situ…., maksud saya ke….kampung isterinya itu, saya diminta untuk menggantikannya. Daripada tidak untung….Eh, maksud saya daripada merugi, lebih baik saya yang menjual-jual dagangannya hari ini. Katanya dia ada……
SITTY :
Ada apa, Pak ?
PEDAGANG PALSU :
Ah, entahlah. Tidak tahu saya. Pokoknya anu. Penting !
SITTY :
Maksud bapak urusan penting.
PEDAGANG PALSU :
Nah, betul. Seperti yang Nona maksudkan tadi.
Yang penting bagi saya itu, si anu, maksud saya, teman Nona yang bernama Samsul itu .
SITTY :
O, Samsul Bahri. Dia belum keluar. Sebentar lagi. Saya biasa menunggunya di sini.
Ada perlu apa bapak dengan Samsul ?
PEDAGANG PALSU :
Begini. Saya ini di…., maksud saya ada sesuatu yang akan saya……
SITTY :
Maksud bapak ada yang ingin bapak sampaikan pada Samsul ? Katakan saja pada saya, nanti saya sampaikan pada Samsul.
PEDAGANG PALSU :
Ooo…tidak bisa, maksud saya tidak usah. Biar saya saja. Ini juga penting Nona.
SITTY :
Memangnya siapa yang berpesan ?
PEDAGANG PALSU :
Si itu…, si anu, maksud saya…….
SITTY :
Pak Amat ?
PEDAGANG PALSU :
Iya, ya, seharusnya saya bilang begitu. Hehehe……..
SEMENTARA PEDAGANG PALSU ITU MENUNGGU SAMSUL, SITTY MENGAMBIL BEBERAPA BUAH ONDE-ONDE DARI GEROBAKNYA.
SITTY :
Pak, Saya beli onde-ondenya. Ini uangnya.
PEDAGANG PALSU :
Ha! Onde-onde ? Nona Sitty membeli onde-onde ini untuk siapa ?
SITTY :
Ya buat saya.
PEDAGANG PALSU :
Tapi ini tidak untuk……..
SITTY :
O, tidak untuk dijual, begitu ? Apa bapak tidak mau uang ?
PEDAGANG PALSU :
Uang ! Mau saya. Ini saya lakukan karena uang.
SITTY :
Nah, ini uangnya.
SITTY DUDUK MELEPAS LELAH . KEMUDIAN IA MEMAKAN SATU BUAH ONDE-ONDE.
PEDAGANG PALSU :
( KESAMPING ) Aduh ! Celaka saya. Seharusnya Samsul, seperti yang disuruhkan pada saya. Nona memakannya ? ( PADA SITTY )
SITTY :
Iya, kenapa ?
PEDAGANG PALSU :
Ditelan ?
SITTY :
( MENGANGGUK )
PEDAGANG PALSU :
Enak ?
SITTY :
Mmm, enak. Tapi gulanya terlalu manis dari yang biasa.
( MEMAKAN SEBUAH LAGI )
PEDAGANG PALSU :
Yang itu ?
SITTY :
Sama saja. Bapak ini kenapa ? Kalau bapak mau silahkan coba saja. ( MENYODORKAN ONDE-ONDE )
PEDAGANG PALSU :
O. Tidak, tidak ! Saya tidak suka onde-onde. Onde-onde itu manis. Saya tidak boleh makan yang manis-manis. Kalau saya makan, saya akan batuk-batuk. Saya akan jadi pusing. ( SITTY MEMEGANG KEPALANYA SEPERTI KESAKITAN ) Nah, anak saya akan marah. Ia akan tambah pusing melihat saya. Ia akan kasak-kusuk mencarikan saya obat. Pernah saya pusing sekali gara-gara makan dodol yang juga sama manisnya dengan onde-onde. Saya jadi terbatuk-batuk, nafas saya sesak sekali ( SITTY MEMEGANG DADANYA KARENA SESAK NAFAS ) Hampir-hampir saya tidak kuat lagi. Untung anak saya segera membawa saya ke Puskesmas. Kata anak saya, puskesmas itu kependekan dari; pusing, kepala sakit dan masuk angin. Susternya menyuntik saya disini ( MENUNJUK BAGIAN PAHANYA ) Sakit. Tapi, setelah itu saya bisa sembuh. Kalau tidak, saya bisa mati.( SITTY SUDAH TERDIAM BEGITU SAJA.TERKAPAR ) Saya ini belum ingin mati. Saya ingin hidup seribu tahun lagi. Nona takut mati ? ( MENOLEH KEPADA SITTY ) Nona ? Nona ! Bangun nona. Nona, bangun. Wah, celaka. Aduh, seharusnya Samsul. Kalau tidak, saya tak dapat uang. Aduh, nona ini ( MENDEKATKAN TANGAN PADA HIDUNG SITTY ) Haa ! Tidak ada anginnya. Puskesmas, puskesmas ! Tolong ! Tolong ! Ah, kalau orang-orang datang hancur saya. Aduh, bagaimana ini !?.
SAMSUL, BAKHTIAR DAN ARIFIN MASUK
SAMSUL :
Sitty !?
BAKHTIAR :
Sitty kenapa !?
ARIFIN :
Ada apa dengan Sitty !?
SAMSUL :
Hah ! Tidak usah bertanya lagi. Cepat angkat. Bawa ke rumah sakit.
MEREKA KELUAR MEMBOPONG TUBUH SITTY. DARI ARAH LAIN DATUK MARINGGIH DAN PENDEKAR LIMA MASUK.
DATUK :
Bagaimana ?
PEDAGANG PALSU :
Wah. Aduh, celaka ! Sitty !
DATUK :
Kenapa Sitty ?
PEDAGANG PALSU :
Onde-onde, maksud saya Sitty makan onde-ondenya. Sudah saya larang, tapi ia terus saja. Mau apa lagi. Kalau saya katakan ada racunnya tidak mungkin. Sekarang Sitty diangkut ke…
PENDEKAR LIMA :
Diangkut ke rumah sakit ? Cepat bapak lihat kondisinya ! Segera balik, kami tunggu di sini !
PEDAGANG PALSU KELUAR MELIHAT SITTY
DATUK :
Haahhh ! Kenapa bisa jadi seperti ini ? Kacau ! Yang saya perintahkan bunuh Samsul Bahri. Kalau Sitty mati, percuma semuanya !
PENDEKAR LIMA :
Ini kesalahan teknis, Datuk.
DATUK :
Ini kesalahan kamu ! Menyuruh orang yang tidak bisa diandalkan ! Apa tidak ada yang lebih punya akal !
PENDEKAR LIMA :
Kalau orang berakal mungkin tidak mau melakukannya, Datuk.
DATUK :
Sudah! Jangan mencari alasan lagi. Apa yang harus kita lakukan ? Kita dalam keadaan bahaya. Sebaiknya kita pergi dari sini.
PENDEKAR LIMA :
Kita tunggu laporan dari orang tadi dulu Datuk.
DATUK :
Untuk apa lagi ?
PENDEKAR LIMA :
Mengetahui keadaan Sitty, ia mati atau tidak.
DATUK :
Mati atau tidak, tidak perlu lagi saat ini. Kasus ini pasti diusut. Sekaranglah waktu yang tepat untuk menghindar. Ayo !
LANGKAH DATUK TERHENTI KARENA SAMSUL DATANG.
SAMSUL :
O. Ternyata langkah saya tak kurang dan tak jua lebih. Hendak ke mana tuan-tuan ? Tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, ya ! Begitu ? Sitty sekarang dalam keadan koma, Dokter telah mengetahui penyebabnya. Tidak ada alasan untuk tidak menuduh Datuk sebagai dalangnya.
DATUK :
Jangan asal tuduh ! Kamu ingin mencemarkan nama baik saya, ya !?
PENDEKAR LIMA :
Oi, anak muda. Apakah kau punya bukti otentik kalau bicara !?
SAMSUL :
Bukti ? ( MENGODE DENGAN TEPUKAN TANGAN )
BAKHTIAR MASUK MEMBAWA PEDAGANG PALSU
SAMSUL :
Siapa yang menyuruh bapak untuk meracuni Sitty ? ( KEPADA PEDAGANG PALSU )
PEDAGANG PALSU :
Itu, Situ. Maksud saya orang itu ( MENUNJUK PENDEKAR LIMA )
SAMSUL :
Berapa bapak dibayarnya ?
PEDAGANG PALSU :
Tadi saya dikasihnya uang segini ( HENDAK MENGELUARKAN SELURUH ISI SAKUNYA ). Janjinya saya akan dikasih uang banyak, satu juta katanya. Jadi saya mau. Perintah cuma menyerahkan onde-onde itu pada Samsul Bahri. Samsul Bahrinya tidak ada. Tapi Nona Sitty membeli onde-onde itu dan mengasih saya uang.
SAMSUL :
Maksud bapak ?
PEDAGANG PALSU :
Aduh, ini sudah tiga kali saya jelaskan pada kalian !
BAKHTIAR :
Jadi tidak usah berkelit lagi dari kami, Datuk !
SAMSUL :
Datuk hendak meracuni saya agar Sitty bisa jatuh ke tangan Datuk ? Terlalu sempit jalan pikiran datuk. Tidak semua orang bisa Datuk bodoh-bodohi. Zaman sudah bertukar, Datuk ! Nah, sekarang kau harus me……
ARIFIN MASUK DENGAN RAUT MUKA TEGANG BERCAMPUR TANGIS.
ARIFIN :
Sitty sudah mendahului kita.
SEMUA :
Sitty !?
SAMSUL :
Gaek keparat ! ( HENDAK MENYERANG DATUK )
DATUK :
Lari !
PENDEKAR LIMA :
Kita hadapi saja, saatnya perhitungan terakhir, Datuk !
BAKHTIAR :
Oooooooiii ! Babi hutan masuk ke ladang !
BEBERAPA ORANG SISWA MASUK MEMBAWA BENDA-BEDA KERAS DI TANGAN. MEREKA LANGSUNG MENYERANG SEHINGGA TERJADI TAWURAN.
“Bagi saya.”
“Ini. Hajar !”
“Kubunuh kau, anak ingusan !”
“Ayo, pak tua !”
“Beraninya keroyokan !”
“Sudah biasa, Datuk !”
“Ekstrakurikuler !”
DALAM PERISTIWA TAWURAN ITU SAMSUL BAHRI TEWAS TERTUSUK BELATI OLEH DATUK, SEDANGKAN DATUK MARINGGIH TEWAS DIKEROYOK SISWA DENGAN BATU.
“Samsul !?”
KAWAN SAMSUL MENGANGKAT TUBUH SAMSUL KELUAR. PENDEKAR LIMA DAN PEDAGANG PALSU MELARIKAN DIRI.
* * *
V.
DI SUDUT JALAN BEBERAPA HARI KEMUDIAN, SEORANG LAKI-LAKI BERPAKAIAN LUSUH DUDUK DI HALTE. IA TENGAH BERBICARA SEORANG DIRI.
AYAH :
Sitty…kembalilah Sitty…dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Menjelma gunung. Orang-orang mendaki, seperti mendaki mimpi. Sitty melihat mimpi itu, Ayah. Bintang jatuh ke samudera jiwa, jiwa lepas dari tubuh….
AYAH :
Kemarilah, sayang. Maafkan Ayah, kemarilah…peluk Ayah….dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Serupa jembatan, antara masa lalu, masa kini, dan masa datang. Jembatan waktu yang melingkar, metamorfosis. Orang-orang melintas, datang, singgah, pergi, dan menghilang.
AYAH :
Jangan cengeng, Sitty ! Ayo, berdiri. Ayo! Bangun, nak. Lepaskan kemanjaan…dst.
SUARA-SUARA :
Sitty jadi muara, Ayah. Tempat segalanya berakhir. Akhir dari kepedihan, akhir dari segala dendam. Akhir dari mimpi-mimpi yang dihanyutkan orang dari hulu, dari masa lalu. Telah jadi kisah, Ayah. Yang melahirkan seribu tafsir…. Meski kita tidak pernah tahu kapan episode ini berakhir….
LAMPU PERLAHAN MENYURUT. PADAM

Jumat, 04 Februari 2011

Julo-julo Incim

Cerpen Ilham Yusardi


(I)
Upik Uban tegak mematung di depan daun pintu rumah Incim. Tak yakin, tapi dikeraskan juga hatinya mengetuk pintu.
“Assalamualaikum…, Incim!” Suara Parau keringnya bergelegar.
“Ya…, tunggu. Siapa?” Sipongang suara teredam ruangan rumah. Tak lama, ringkik daun pintu terkuak, seiring muncul perempuan paruh baya, dengan pakaian rumah seadanya.
“Eee, Upik Uban kiranya. Kabar apa, Pik? Lama tak hinggap kau ke sini. Ayo masuk” Incim menyila Upik Uban untuk duduk. Upik Uban melangkah masuk. Beberapa langkah, dengan sedikit sungkan, Upik Uban melorotkan badannya di sofa yang masih berbungkus plastik.
“Baru sofa, Ncim?” Celetuk Upik Uban, membuka obrolan.
“Seminggu. Tukar tambah,” Jawab Incim sekenanya. Bergegas Incim ke belakang. Upik Uban terkesan dengan ruang itu. Tiga meter dari tempat ia duduk, tivi layar datar tipis seakan lekat ke dinding. Kiri-kananya berdiri speker berhias bunga anggrek plastik. Di sudut antara sofa berdiri guci keramik setinggi orang, bertuliskan kaligrafi.
Dinding kiri tertempel pigura cantik, foto Incim dan suami tersenyum seukuran tivi. Pohon anggur plastik, menjalar, berjuntai-juntai di pembatas ruang yang terbuat dari rotan. Kaki Upik Uban pun tak bisa membutakan permadani Turki yang tebal dan empuk. Kulit Upik Uban termanjakan oleh udara sejuk yang disebar pendingin ruangan. Upik Uban menelan ludah pekatnya.
Incim keluar dengan napan stainnless steel mengkilap. Di atasnya toples dan sebuah gelas kristal bertangkai tinggi, berisi air berwaran kuning pekat (mungkin sirup mahal pikir Upik Uban).
“Senang kau kini, Ncim” Tukas Upik Uban, matanya memperhatikan gerik Incim yang ringan.
Incim tersenyum lepas, bersambung tawa kecil. “Alah, kau bisa saja. Ada paha ada kaki, ada usaha ada rejeki. Iya, kan. hehehe?” Incim membuka tutup toples kristal. Tampak kue kering berwarna cokelat bertabur kacang mete dan kismis.
“Silahkan dimakan kuenya, Pik!”
Upik Uban merogoh sekeping kue dari botol. Incim sibuk pula memencet remot tivi. Seketika tivi menyala. Cahaya berlepasan meneranggi ruangan. Gambarnya sangat jernih. Suaranya bombastis menggeletarkan jantung Upik Uban. Di tivi tampak gambar seorang ustad kondang berceramah penuh semangat. Kemudian tertera judul tayangan ‘Kala Mayit Tak diterima Tanah’. Incim mencet remot lagi. Merendahkan volume suara tivi.
“Apa kabar, Pik” Sahut Incim ringan saja. Upik Uban terdiam, tersadar dari tatapan ke tivi.
“Anu, Ncim. Kalau boleh, awak mau ikut julo-julo tembak lagi dengan Incim. Lagi butuh uang. Terdesak, Ncim. Keadaan, Ncim. Kredit motor Uda jatuh tempo. Sebulan menunggak. Kemarin sudah ke rumah orang dealer, Ncim. Tadi pagi juga. Katanya kalau besok tidak juga dibayar, motor akan ditarik. Kalau motor ditarik, Ncim, uda awak tidak bisa narik ojek lagi. Kalau uda tidak ngojek lagi, Ncim, dengan apa belanja harian awak, susu anak awak. Itulah yang membuat awak kalampasiangan, Ncim.” Panjang lebar bercerita, tersendat-sendat antara sebak dada, dijelaskan jua niatnya pada Incim. Incim dengan mudah mengerti situasi.
“Saya paham, Pik. Bagi saya tidak masalah. Tapi saya tidak ingin lagi Upik seperti yang sudah sudah. Kalau bisa bayar harian julo-julonya rutin. Biar tidak tambah susah kau. Biar cepat tamatnya”
“Iya, Ncim. Jadi”
“Julo-julo berapa yang mau kau ikut.” Lanjut Incim seraya menggaruk daki di lehernya. Upik Uban melihat kalung Incim begerincingan begitu tangan incim menyentuh leher. Mainannya batu permata sebesar kepala sendok berkilau, meyilau mata Upik Uban begitu terkena pantuan cahaya tivi.
“Yang hariannya sepuluh ribu saja, Ncim”
“Jadi, kau mau ambil julo-julo tembak sejuta”
“Iya, Ncim” Angguk Upik Uban tegas.
“Baiklah. Kau kutembakkan kenomor satu. Kau bisa dapat uang sekarang. O, ya, kau sudah tahu kan aturan julo-julo harian ini?
“Sudah, Ncim” Angguk Upik Uban cepat. Incim pun bergegas masuk ke dalam kamarnya. Terurai jugalah awan mendung yang galaukan hati upik Uban dua hari ini.
Upik uban tentu sudah tahu betul aturan main julo-julo harian itu. Ia ambil julo-julo tembak satu juta rupiah. Nantinya akan dibayar rutin perharinya sepuluh ribu rupiah selama seratus sepuluh hari. Sepuluh hari terakhir orang kampungnya menyebut hari pencabik kartu. Entah siapa yang menetapkan undang-undang itu, sudah ada begitu saja turun temurun. Sepuluh hari itulah upah balas jasa orang menjalankan (kepala) julo-julo yang dijemput dari kerumah setiap harinya.
Incim keluar dengan beberapa uang bergambar Pak Sukarno dan Pak Hatta. “Tu, wa, ga, pat, ma, nam, juh, pan, lan…, ini Pik. Sembilan ratus ribu rupiah. Seratus ribu dipotong untuk mengisi sepuluh hari pertama” Uang diulurkan ke arah Upik diletakkan di sudut meja, di hadapan lutut Upik. Lalu, Incim sibuk pula membubuhi tanda paraf sepuluh baris di kolom pertama kartu julo-julo baru. Tiap-tiap paraf itu kemudian dicap pula dengan stempel sebesar ujung telunjuk. Kartu diserahkan ke Upik.
“Terima kasih sekali. Awak Pulang dulu, Ncim”
Upik Uban bisa lagi tersenyum.
Incim Pun tersenyum.

(II)
Sore, langit tersapu jingga dari semburat matahari siang menjelang sore. Sepeda motor bebek Ujang Balam—pembawa motor pribadi Incim dalam menjemput julo-julo dari pintu ke pintu—berhenti di halaman sebuah rumah kayu lama. Suara knalpot modifikasi sepeda motor Ujang Balam yang keras dan khas, sudah hafal oleh telinga perseta julo-julo. Incim turun, melangkah menghampiri pintu. Sebelum sampai di pintu, dua orang bocah melongokkan mukanya yang berkabut risau.
“Ibu di Rumah Sakit, Etek” Ujar bocah menyela suara kelotak sepatu Incim.
“Rumah Sakit? Siapa yang sakit” Kalimat tanya itu habis di pintu. Incim menguakkan pintu lebar-lebar, melongok ke dalam rumah. Sepi.
“Ayah, Etek. Tadi pagi sepulang dari sawah, tangan kanan, kaki kanan ayah tidak bisa lagi digerakkan. Uda Pudin melarikannya ke Rumah sakit”
“Stroke?!” Incim tersentak, seakan tidak Percaya.
“Entahlah. Ani ndak tahu, Tek” Ucapan Ani yang terakhir itu bersibuah dengan sebak. Ani berusaha menyeka cairan hangat yang terbit di sudut matanya.
Incim mundur. Mengusap kedua kepala anak itu. Ia menarik nafas, kemudian melangkah ke arah motor Ujang Balam.
Imar, Ibu kedua bocah itu ikut julo-julo incim rutin, putus sambung. Dua puluh ribu sehari. Menerima dua juta. Uang cabutan sudah diambil untuk mengganti atap rumah yang semula rumbia dengan seng. Sekarang tinggal melunasi sepuluh hari Pencabik kartu saja lagi.

(III)
“Naik haji?”
“Iya”
“Kata Siapa?”
“Incim sendiri yang bilang begitu pada saya.” Buk Siar, penuh semangat meyakinkan Buk Yet akan informasinya.
Tangan mereka terus juga memilih terung yang teronggok di meja lapau Buk Mur. Sedari tadi pilih-memilih terung itu tak kunjung selesai. Obrolan lebih semangat. Awalnya cuma perkara garin mesjid yang baru suaranya merdu mengumandangkan azan. Beralih ke Artis Marcella Zalianty masuk penjara. Lalu pindah pula soal Syekh Puji nikahi perempuan bawah umur. Bergeser lagi tentang derita Upik Uban yang suaminya ditangkap polisi karena menjual kupon putih. Entah siapa yang mulai, tersedak saja obrolan itu pada Incim yang konon akan pergi haji tahun ini.
“Eh, Buk” lanjut Buk Siar mencolek bahu Buk Yet, kemudian merapatkan muncung ke telinga Buk Yet, “Kalau Incim naik haji, sah nggak sih?”
“Kenapa?” Tanya itu berbalik ke Buk Siar.
“Julo-julo itu, eng, anu. Riba kan?” Mereka kemudian terdiam. Saling pandang.
“Yang mana terungnya Buk?” Sahut Buk Mur, pemilik lapau. Menyentak kesadaran meraka.

(IV)
Incim setengah hati turun dari motor. Cerah langit sore hari itu ak senada dengan kesumat galau yang membalut hati Incim. Sudah sepuluh lebih rumah yang ia singgahi. Belum ada hasil sama sekali. Parahnya, orang-orang yang tak bisa ditagih itu justru peserta dengan jumlah yang besar. Mak Lena, juragan beras, yang ikut putaran lima puluh ribu perhari, tidak di rumah. Kata tetangganya, Mak Lena pergi ke Muaro Kalaban, ke rumah anaknya, meyelenggarakan aqiqah cucunya. Upik Sela, yang ikut dua puluh ribuan perhari, tidak bisa bayar hari ini. Janji bayar besok dobel. Mintuo Taci, yang tak lain adalah istri mamaknya, juga minta ditunggak tiga hari kedapan.
Jelang Tanggal satu. Incim maklum, Uwan, mamaknya itu PNS di Dinas Kebersihan Pasar. Upik Uban kembali berulah dengan gaya lamanya. Alasannya kini: udanya masih di kantor polisi. Belum ada kepastian kapan akan keluar.
Incim berjalan menghampiri pintu rumah Ita Kamek. Ita Kamek sudah berdiri dengan mengibarkan tiga lembar uang ribuan dan kartu julo-julo yang sudah lecek. Ita Kamek seangkatan dengan Incim. Lawan barek Konco Arek, kata orang. Sedari kecil mereka sudah bermain, bergaul bersama. Sama mengaji, sama sekolah TK, SD, SMP, sampai SMEA mereka tetap sama.
“Jadi Kau naik haji, Ncim” Selorohan setengah kelakar itu keluar lebih dulu daripada uang julo-julo beralih ke tangan Incim. Incim mengambil uang itu tanpa peduli dengan pertanyaan Ita Kamek. Dicabiknya kasar kartu julo-julo. Memang julo-julo Ita Kamek tamat dengan uang tiga ribu itu.
“Jadi, Ncim?” Ita Kamek meninggikan nada suaranya. Bertanya serius. Ia tak melihat gelagat gusar dan kerut di kening Incim.
“Eee, Nyinyir! Ndak usah banyak sigi kau lah. Ikut tiga ribu, cuma.” Akhirnya tertumpah jua kegusaran Incim.
Suasana antara keduanya jadi tegang. Dihamburkan sobekan kartu ke arah Ita Kamek. Lalu secepatnya balik kanan, melangkah ke arah jalan.
“Eh, Ncim. Tiga ribu kali sejuta berapa, ha? Tiga-ribu-juta! Tiga milyar! Cukup untuk kau naik haji tujuh kali berturut!” Ita Kamek tak terima pula ia disengat mulut Incim.
“Awas Kau, ya!” Dihentikan langkah. Ditunjuk kidalnya Ita kamek dengan geram.


(V)
Cahaya yang disemburkan layar televisi berkilasan, kerjap-kerjapan menerpa ruangan itu. Sebentar-terkilas jam dinding besar, menujukkan angka enam lewat pada jarum pendeknya. Sebentar-terkilas cahaya televisi menyapu foto sepasang suami istri yang besar, menyeka guci keramik besar yang berdiri di kiri kanan. Berkilasan menjelaskan kembang anggur plastik yang terjuntai di pembatas ruangan. Pada saat tertentu cahaya yang bersemburat dari televisi menerangi tubuh yang tergolek di sofa yang masih berplastik itu.
Suara dari speker tivi yang berdiri di kiri kanan hanya sekedarnya saja. Tidak menggangu telinga perempuan yang tergolek di sofa panjang. Suara tivi tak ubahnya rintih pedih dari sebuah dunia lain. Terlihat gambar pejabat menteri ekonomi dikerubuti wartawan dalam persoalan krisis keuangan global. Kemudian beralih pada gambar gedung-gedung Bank yang terancam bangkrut. Gambar bursa efek Jakarta yang terpaksa ditutup. Sungguh perempuan paruh baya itu tiada pula mengerti dan tak bersangkut-soal dengan tayangan itu. Kemudian tayangan itu berhenti pada tulisan huruf kapital di layar telveisi: Menantikan azan Magrib.
Azan Magrib berkumandang lamat-lamat lirih dari kedua speker. Tivi menampakkan gambar orang-orang berangkat menuju masjid. Ada tulisan arab dan latin lafalan azan di layar seiring kumandang azan.
Langit makin kelam. Matahari mulai berpejam. Lampu ruangan belum juga dinyalakan. Sesekali percikan cahaya yang bersemburat dari tivi jatuh di tubuh perempuan itu. Ia tidur dengan pergelangan menyilang di atas kening. Kiri dan kanan kening perempuan itu masing-masing ditempeli koyo cabe.
“Hayyalal fallah….” Suara dari tivi itu terlalu lamat, terlalu pelan, mungkin tak sampai menyentuh gendang telinga perempuan yang rebah kuda di sofa itu.

Dipublikasikan pertama kali di Harian Padang Ekspres

Resensi Buku "Menafsir Jejak Tan Malaka Lewat Lakon"



Judul Buku : Tan Malaka Dan Dua Lakon lain
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : KitaKita
Cetakan : Oktober, 2009
Tebal : 130 halaman


Ada daya magnet yang besar bagi peminat sastra, bila di sampul sebuah buku tertulis nama Goenawan Mohamad (GM). Tentu saja, GM adalah legenda hidup sastra Indonesia. Ia dikenal sebagai pemikir, penyair, dan esais Catatan Pinggir yang rutin terbit di halaman akhir majalah Tempo.

Dan bahkan, GM, bagi sebahagian penulis muda hari ini, adalah menara suar, yang karya dan pemikirannya menjadi kanon yang terus dikuntit.

Tapi tidak banyak orang tahu kalau GM selain menulis puisi dan esai juga acapkali terlibat dengan seni pertunjukan. Padahal dari catatan yang ada, GM sudah terlibat dalam seni pertunjukkan sejak akhir 1990-an. Tentunya sebagai penulis naskah. Rentang tahun 1996-2003 ia terlibat dalam penulisan libretto (teks skenario opera musikal) yang berjudul Kali. Kali dimainkan oleh komponis Tony Prabowo dan Jarrad Powel. Kemudian menulis libretto The King’s Witch (1997-2000), dipentaskan di beberapa tempat di Amerika Serikat dan Eropa. Pertunjukkan lain, yang skenarionya ditulis GM adalah Kali-Yuga, sebuah drama tari yang digarap oleh koreografer Wayan Dibya. Ada juga teks skenario pertunjukkan wayang kulit seperti, Wisanggeni (1995), Alap-alap Surtikanti, (2002) yang dimainkan oleh Sujiwo Tejo. Sebuah drama tari Panji Sepuh, digarap oleh Sulistio Tirtosudarmo tahun 1997.

Dalam buku Tan Malaka Dan Dua Lakon Lain ini, GM menyajikan tiga buah naskah panggung yang sedianya siap untuk dimainkan. Sebagaimana yang tersirat pada judul di halaman sampul, buku ini adalah antologi naskah lakon. Lakon pertama adalah sebuah libretto yang berjudul Tan Malaka. Naskah kedua adalah sebuah monolog yang bejudul Surti Dan Tiga Sawunggaling, kemudian satu naskah lagi adalah drama satu babak yang berjudul Visa.

Libretto Tan Malaka sedianya ditulis untuk karya opera musikal yang diproduksi oleh Tony Prabowo tahun 2010 akan datang di Teater Salihara, Jakarta. Dalam libretto kali ini, seperti yang dipaparkan pada pengantar buku ini, ia disebut “sebuah esai, sebuah opera” karena bentuk dan dasar teks esai berperan besar di dalamnya. Rencananya, lakon Tan Malaka ini dimainkan dengan paduan aria (nyanyian tunggal yang diiringi musik seperti dalam opera dan oratoria), kur, dan permainan slide mulitimedia.

Mungkin ada yang bertanya: kenapa judulnya Tan Malaka? Apa hubungannya dengan pahlawan misterius itu? Apakah ada seorang tokoh yang berperan sebagai Tan Malaka? Jawabannya: Tidak. Tan Malaka dalam teks pertunjukkan ini hanyalah sebuah wacana, sebuah persoalan, sebagaimana semula disebutkan GM. Kali ini sosok Tan Malaka diperbincangkan dalam sebuah esai, yang dilisankan.

Lakon Tan Malaka terdiri dari tiga babak. Babak pertama dari luar panggung terdengar suara-suara: “Tan Malaka dimana, Tuan?”, “Tuan masih hidup?”, selanjutnya narasi dialirkan dalam dua orang pelantun aria. Pada satu bagian, diceritakan lewat narator: di Baya, di wilayah Banten itu, ia membuatku curiga. /”Tuan Tan Malaka?”/ Ia tak Menjawab./ ”atau Iyas Hussein?”/ Ia juga tak menjawab./ Di bawah alisnya yang tebal, ia malah bertanya: “Apa kalian katakan tentang Indonesia? Timur yang berhenti karena takdir?[...]

Perdebatan tentang sosok tokoh Tan Malaka sebagai sebuah wacana semakin padat pada babak dua dan babak tiga. Di babak dua, wacana kemerdekaan yang menjadi problematika utama perjuangan Tan Malaka, dilantunkan dalam aria: Di pagina yang terbaca/ Di buku putih yang terbuka/ Di kertas merang dan abu/ Aku tulis namamu/ “Kemerdekaan”/ Pada hutan dan gurun/ Pada sarang dan semak ranum/ Pada gema masa kanakku/ Aku tulis namamu/ “Kemerdekaan”/.

Ketokohan Tan Malaka di masa hari-hari kemerdekaan 17 Agustus 1945, dihadirkan dalam babak tiga. Lewat narator disampaikan kisah: Kata orang ia berada di Jakarta hari-hari itu. Tapi proklamasi kemerdekaan disiapkan pemuda, dan ia tak disana. Tan Malaka tak tampak bahkan beberapa meter saja dari Jalan Pegangsaan. Ia tak kelihatan di tanggal 17 Agustus itu. Tak seorang pun memberitahunya. Pada bagian selanjutnya narator mengungkapkan: Ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno hari itu. Mungkin ia menganggap seluruhnya lembek, atau semu, atau–/ Mungkin selamanya asing. Tampaknya, bila membayangkan pementasan lakon libretto Tan Malaka ini, barangkali berjalan dalam irama yang ketat dan serius.

Naskah lakon kedua, yang berjudul Surti Dan Tiga Sawunggaling, sebuah monolog untuk pemain perempuan. Pada pengantar buku GM menjelaskan, bahwa naskah ini sedianya akan dimainkan oleh Sri Qadaryatin dari Teater Garasi, Yogya. Namun hingga saat ini rencana itu belum sempat terlaksana.

Monolog ini memuat kisah Surti, perempuan berusia 33 tahun, seorang istri yang suaminya terbunuh sebagai gerilyawan perang kemerdekaan. Suaminya, Jen, diburu dan dibunuh oleh tentara Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengejar Jen karena ia terlibat pergerakan pemberontak komunis. Sebelum Jen terbunuh, beberapa kali Surti melihat sosok lelaki bertopeng, kepalanya tertutup sarung bantal yang pada bagian mata dan mulut dilobangi. Lelaki bertopeng tersebut beberapa kali muncul disela kesibukannya, tentu lelaki itu bertujuan mengintai suaminya.

Menariknya monolog ini, kisah juga dialirkan melalui karakter tiga ekor burung Sawunggaling, yang diberi nama Anjani, Baiwara, dan Cawir. Ketiga burung tersebut merupakan karakter animatif imajiner yang muncul dari lukisan batik di kain Mori yang dikerjakan Surti. Diceritakan, bahwa ketiga burung tersebut adalah penyaksi, bagaimana suaminya berjuang, bergerilya, walau akhirnya mati terbunuh.

Monolog ini merupakan satu dari banyaknya kisah tragis dari zaman perang pada penjajahan. Memang tak perlu dipungkiri, penjajahan Belanda telah membuat bekas luka besar bagi bangsa Indonesia, bahkan banyak jejak luka yang belum tersembuhkan itu kini tersisa sebagai artefak sejarah.

Lakon ketiga, yang berjudul Visa, merupakan lakon satu babak yang pernah dipentaskan oleh Teater Lungid di Solo, Jakarta dan Surabaya. Visa diangkat dari problematika perihal rumitnya mengurus paspor bepergian keluar negeri untuk tujuan Amerika Serikat. Ditampilkan berbagai karakter dengan berbagi alasan untuk datang ke Amerika. Dalam celetukan dialog tokoh tampak Amerika sebagai daerah yang superior yang selalu was-was menerima pendatang. Berbagai hambatan dialami orang-orang yang mengurus visa. Mulai dari persoalan nama yang berbau arab, yang dicemaskan sebagai teroris, apa keperluan ke Amerika, hingga seberapa besar dana yang dipunya untuk membuat visa. Amerika menjadi wacana retoris antar pelakon. Berbeda dengan dua lakon sebelumnya, lakon Visa lebih cair dalam suasana ringan dan dialog yang penuh humor.

Buku ini menarik untuk dikoleksi, terutama bagi anda peminat sastra, pendidik atau pekerja seni teater. Kalau anda seniman teater, alangkah menarik untuk mencoba membuat pertunjukkannya. Bukankah, nama Goenawan Mohamad sebagai penulis naskah adalah sebuah nilai tambah dan tantangan? Siapa berani? Buktikan.

Ilham Yusardi
Pekerja Sastra dan Teater
Berdomisili di Sarilamak